Rabu, 07 April 2010

tugas indonesian legal system tentang kasus merek

Sekilas Tentang Tindak Pidana Dalam Bidang Merek
Dikirim/ditulis pada 28 August 2007 oleh Pengunjung
ARTIKEL HUKUM PIDANA
Oleh: DR. Cita Citrawinda, SH, MIP

 
Pendahuluan
Merek telah lama digunakan sebagai alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dari barang dan/atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis, atau digunakan untuk memberikan tanda dari produk yang dihasilkan.
Dalam kedudukannya untuk memperkenalkan produksi suatu perusahaan, merek mempunyai peranan yang sangat penting bagi pemilik suatu produk. Hal ini disebabkan oleh fungsi merek itu sendiri untuk membedakan dalam memperkenalkan suatu barang dan/atau jasa dengan barang dan/atau jasa lainnya yang mempunyai kriteria dalam kelas barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi oleh perusahaan yang berbeda.
Dengan memiliki suatu merek berarti telah dapat diterapkan salah satu strategi pemasaran, yaitu strategi pengembangan produk kepada masyarakat pemakai atau kepada masyarakat konsumen, dimana kedudukan suatu merek dipengaruhi oleh baik atau tidaknya mutu suatu barang yang bersangkutan. Jadi merek akan selalu dicari apabila produk atau jasa yang menggunakan merek mempunyai mutu dan karakter yang baik yang dapat digunakan untuk mempengaruhi pasar.
Merek merupakan bagian dari HKI yang menembus segala batas. Dimana-mana ada usaha untuk memberikan perlindungan secara lebih besar. Terutama bagi negara-negara yang sudah maju, antara lain Amerika Serikat yang menghendaki adanya perlindungan terhadap HKI warga negaranya dari negara-negara lain, supaya arus teknologi penemuan hak cipta serta merek-merek mereka yang sudah terkenal di bidang perdagangan, yang telah mendapatkan “goodwill” secara seksama dengan pengorbanan banyak biaya dan tenaga dapat dilindungi secara wajar oleh negara-negara lain.[1]
Persetujuan TRIPs, khususnya Pasal 15 ayat (1) mengatur tentang definisi merek sebagai berikut :
“Any sign or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those trademark. Such signs, in particular words including personal names, letter, numeral, figurative elements and combinations colors as well as any combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services. Member may make registrability depend on distinctiveness acquired through use. Members may require, as a condition of registration, that signs be visually percetible”.
 
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) ini, setiap tanda atau gabungan dari tanda-tanda yang dapat membedakan barang dan jasa suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya dapat dianggap sebagai merek dagang. Tanda semacam itu, khususnya, kata-kata yang termasuk nama pribadi, huruf, angka, dan gabungan warna, serta setiap gabungan dari tanda semacam itu, dapat didaftarkan sebagai merek dagang.
Hal terpenting dalam mendefinisikan merek yang dikemukakan dalam Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs[2] adalah penekanan mengenai “unsur pembeda”.  Menurut Persetujuan TRIPs, pembedaan (seringkali disebut dengan “daya pembeda“) adalah satu-satunya kondisi substantif bagi perlindungan merek. Penolakan terhadap pendaftaran suatu merek menurut Pasal 15 Ayat (1) Persetujuan TRIPs tersebut adalah berdasarkan alasan-alasan tidak adanya daya pembeda itu tadi. Dalam hal penolakan perlindungan atas merek diperbolehkan pula sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Paris.[3]
Dalam Konvensi Paris, penolakan suatu perlindungan diperbolehkan apabila registrasi atau pendaftaran di negara yang bersangkutan melanggar hak-hak pihak ketiga terdahulu apabila merek yang bersangkutan tidak memiliki karakter pembeda, atau secara eksklusif mengandung syarat-syarat deskriptif, atau apabila merek tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip moralitas atau ketertiban umum yang diterima masyarakat. Sementara daya pembeda adalah kunci utama bagi perlindungan menurut Persetujuan TRIPs.         
Berkaitan dengan perlindungan merek, perdagangan tidak akan berkembang baik jika suatu merek tidak memperoleh perlindungan hukum yang memadai di suatu negara. Adanya pembajakan, jelas akan merugikan tidak hanya bagi para pengusaha yang memiliki atau memegang hak atas merek tersebut, tetapi juga bagi para konsumen.
Merek-merek terkenal tertentu, sebagai contoh misalnya  CARTIER, LEVI’S dan NIKE, telah mengembangkan kemampuan untuk menciptakan nilai yang tinggi terhadap barang atau produknya, prestise karena upaya promosi yang gencar dan investasi yang besar yang dilakukan oleh pemilik merek sehingga merek-merek tersebut menjadi terkenal di seluruh dunia serta didukung oleh manajemen yang baik. Daya tarik merek-merek dunia ini menyebabkan banyaknya permintaan terhadap produk-produk yang menggunakan merek-merek ini – namun sayangnya permintaan ini sering dipenuhi oleh pemalsu yang memproduksi dan mendistribusikan produk-produk yang tidak sah. Pemalsu memasarkan produknya ke seluruh dunia, dari Hong Kong hingga New York dimana kota-kota tersebut dibanjiri dengan produk-produk palsu. Dari segi ekonomi maupun segi-segi lainnya, pemilik merek menderita kerugian akibat penjualan produk-produk palsu ini. Produk palsu biasanya murah dan berkualitas lebih rendah dibandingkan dengan produk aslinya.
Tindakan pemalsuan merek, tentu akan mengurangi kepercayaan pihak asing terhadap jaminan perlindungan atas merek yang mereka miliki. Akibatnya muncul ketidakpercayaan dunia internasional terhadap perlindungan hak atas merek yang diberikan oleh pemerintah Indonesia ataupun untuk melakukan hubungan dagang dengan pihak Indonesia.[4]
Dalam banyak kasus, peniruan merek secara tidak bertanggung jawab untuk barang yang sejenis selain merugikan pemilik merek yang sah, juga akan merugikan masyarakat umum, khususnya para konsumen, karena merupakan suatu perbuatan curang yang menciptakan kekacauan mengenai asal-usul barang atau usaha industri dan dagang, mendiskreditkan usaha pengusaha atau barang industrial dan komersial  pemilik merek yang sesungguhnya dengan adanya pelanggaran terhadap merek, serta mengelabui khalayak ramai berkenaan dengan kualitas suatu barang.[5] 
Praktek perdagangan tidak jujur meliputi cara-cara sebagai berikut:[6]
1. Praktek peniruan merek dagang
Pengusaha yang beritikad tidak baik tersebut dalam hal persaingan tidak jujur semacam ini berwujud penggunaan upaya-upaya menggunakan merek terkenal yang sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksinya secara pokoknya sama dengan merek atau jasa yang sudah terkenal untuk menimbulkan kesan seakan-akan barang yang diproduksinya tersebut adalah produk terkenal tersebut.
2. Praktek pemalsuan merek dagang
Dalam hal ini persaingan tidak jujur tersebut dilakukan oleh pengusaha yang beritikad tidak baik dengan cara memproduksi barang-barang dengan mempergunakan merek yang sudah dikenal secara luas di masyarakat yang bukan merupakan haknya
3.   Perbuatan-perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal-usul merek
Hal ini terjadi karena adanya tempat atau daerah suatu negara yang dapat menjadi kekuatan yang memberikan pengaruh baik pada suatu barang karena dianggap sebagai daerah penghasil jenis barang bermutu.
Prinsip adanya ‘itikad baik’ juga merupakan ketentuan yang sangat penting mengingat ketentuan ini juga merupakan ketentuan internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 10bis Konvensi Paris yaitu bahwa setiap negara peserta terikat untuk memberikan perlindungan hukum yang efektif agar tidak terjadi persaingan yang tidak jujur.[7] Lebih lanjut Pasal 10 ayat 2 (dua) Konvensi Paris menentukan bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan honest practice in industrial and commercial matters merupakan suatu perbuatan persaingan tidak jujur. Sedangkan ketentuan ayat 3 (tiga) menentukan bahwa khususnya dilarang terhadap semua perbuatan yang dapat menciptakan kekeliruan dengan cara apapun berkenaan dengan asal-usul barang atau berkenaan dengan aktivitas industri dan perdagangan dari pesaing. Juga semua tindakan-tindakan dan indikasi-indikasi yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal-usul suatu barang. Prinsip ‘itikad baik’ ini harus diterapkan dalam hal kepemilikan suatu merek mengenai siapakah pemilik merek sesungguhnya yang berhak memperoleh perlindungan hukum.
           
Walaupun Undang-undang Merek No. 15 tahun 2001 telah memberlakukan prinsip ‘itikad baik’, syarat-syarat permohonan merek yang harus ditolak serta ketentuan-ketentuan lain mengenai perlindungan merek terdaftar, termasuk sanksi perdata dan pidana, akan tetapi kenyataannya pelanggaran atas merek masih saja berlangsung, khususnya terhadap merek-merek terkenal, baik di dalam maupun di luar negeri.
 
Perlindungan Merek di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-undang Merek No. 15 tahun 2001 pada tanggal 1 Agustus 2001.[8] Undang-undang Merek No. 15 tahun 2001 menganut sistem konstitutif dimana perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas merek baru akan diperoleh apabila merek tersebut didaftarkan (first to file),  menggantikan sistem deklaratif (first to use) yang pertama kali dianut oleh Undang-undang No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan.[9]
Ketentuan Pidana  yang mengatur tentang sanksi dan denda bagi pelanggar merek diatur dalam Pasal 90 – 95 Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek. Pidana penjara yang dikenakan pada terdakwa adalah paling lama 5 (lima) tahun, sedangkan denda paling banyak sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).[10]
Dalam hal perlindungan merek, Indonesia sesungguhnya tidak hanya mendasarkan kepada peraturan perundang-undangan nasional di bidang merek semata, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh TRIPs yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Perjanjian Pembentukan Agreement on Establishing the World Trade Organization (WTO).
Oleh karena perjanjian WTO merupakan perjanjian multilateral, maka bagi negara yang menandatanganinya seperti Indonesia harus taat pada ketentuan tersebut. Pemerintah Indonesia telah mengakomodasikan ketentuan-ketentuan Persetujuan TRIPs tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Begitu pula mengenai perlindungan bagi merek terkenal sebagaimana pula telah diatur dalam Konvensi Paris pada Pasal 6bis.[11]
Persetujuan TRIPs memuat pengaturan mengenai penegakan hukum untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran di bidang HKI di negara-negara anggota. Pengaturan-pengaturan mengenai penegakan hukum ini secara garis besar memuat kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan, badan administrasi (Pabean) dan pemegang Hak Kekayaan Intelektual, bila terjadi pelanggaran yang menyangkut Hak Kekayaan Intelektual. Dalam era global, era perdagangan bebas, dimana negara-negara saling mengembangkan usaha-usaha investasi ke negara-negara lainnya di bidang perdagangan yang memiliki aspek HKI, bagian yang terpenting dalam TRIPs adalah Bagian Ke-empat yang mengatur tentang “Special Requirements Related to Boarder Measures” yang mengandung prinsip-prinsip pokok dalam penegakan hukum bila terjadi pelanggaran dan/atau adanya indikasi pelanggaran.[12]
Bagi Indonesia, seiring dengan meningkatnya perdagangan internasional yang cenderung menciptakan pasar global yang semakin mengarah  kepada perdagangan bebas, tersedianya sistem perlindungan hukum yang efektif di bidang HKI semakin diperlukan. Peranan tersebut secara nyata akan terlihat pada dampak dari perlindungan hukum di bidang HKI yang dapat meningkatkan citra Indonesia di forum internasional. Di dalam negeri akan berdampak pada peningkatan kualitas dan kreatifitas masyarakat di berbagai bidang, mendorong alih tehnologi dan alih ilmu pengetahuan, memperbesar informasi di bidang HKI, merangsang penanaman modal asing, melindungi konsumen dan sebagainya.[13]
Sedangkan untuk perlindungan hukum terhadap merek terkenal sendiri, landasan hukumnya sudah lama diatur dalam Konvensi Paris, yaitu bahwa negara-negara anggota Konvensi Paris harus menolak atau membatalkan pendaftaran dan melarang pemakaian merek yang merupakan reproduksi, imitasi atau terjemahan yang menimbulkan kekeliruan atau kekacauan dari suatu merek yang dipandang dari suatu negara merek terdaftar atau dipakai sebagai suatu merek yang terkenal dan merupakan merek orang lain.
             
Peranan POLRI dalam Menangani Kejahatan HKI
Polisi Republik Indonesia (POLRI) selaku alat negara, perlu melakukan berbagai upaya penanggulangan atas kejahatan atau pelanggaran HKI melalui upaya penegakan hukum dengan melakukan penyidikan dan investigasi. POLRI diharapkan untuk senantiasa berupaya melakukan penegakan hukum berdasarkan kewenangan yang ada melalui kegiatan penyidikan kejahatan HKI yang terjadi.
Sejak berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, tahapan proses peradilan pidana terbagi secara nyata, yaitu penyelidikan dan penyidikan (investigasi) dilakukan oleh POLRI; penuntutan merupakan kewenangan Kejaksaan dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan menjadi wewenang Hakim. Setelah perkara diputus di Pengadilan, maka pelaksanaan putusan Hakim dilakukan oleh Jaksa, sedangkan pembinaan dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan.
Dengan batasan yang tegas antara fungsi-fungsi tersebut diatas, maka dalam penerapannya harus merupakan suatu proses peradilan atau penegakan hukum yang terpadu. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas merek.
Provisional Measures
Mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian atau dunia usaha yang sangat terkait erat dengan ekonomi dan perdagangan, oleh karenanya penyelesaian sengketa merek menjadi kewenangan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga, sehingga diharapkan sengketa perdata di bidang merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Pemilik merek memiliki upaya perlindungan hukum terhadap mereknya dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga agar dapat dikeluarkan “penetapan sementara pengadilan” untuk mencegah kerugian yang lebih besar.[14] Terhadap penetapan sementara tersebut, tidak dapat dilakukan upaya hukum banding atau kasasi. Selain itu pemilik merek diberi kesempatan untuk menyelesaikan sengketanya melalui badan selain badan peradilan, yaitu arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.[15]
Penetapan sementara pengadilan ini disebut provisional measures, yang juga umum dikenal dalam peraturan arbitrase, maupun konvensi tentang penyelesaian sengketa tentang penanaman modal.[16] Didalam Persetujuan TRIPs  mengenai provisional measures diatur dalam Article 50, sebagai berikut:
“The judicial authorities shall have the authority to order prompt and effective provisional measures:
a.  to prevent an infringement of any intellectual property right from occuring, and in particular to prevent the entry into the channels of commerce in their jurisdiction of goods, including imported goods immediately after customs clearance;
b.  to preserve relevant evidence in regard to the alleged infringement.”
 
Contoh Kasus Tindak Pidana di Bidang Merek
Berikut ini adalah 3 (tiga) contoh kasus tindak pidana pelanggaran di bidang merek di Indonesia yang cukup menonjol:
1. Kasus “Channel” palsu
Duduk perkaranya adalah sebagai berikut: Ni Made Geben alias Keben didakwa memperdagangkan barang-barang berupa dompet dan tas yang menggunakan logo Channel palsu antara tahun 1995 - 1996. Oleh Pengadilan Negeri Denpasar, terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 10 (sepuluh) bulan dengan masa percobaan selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.
Terhadap putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar, akan tetapi hasil putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tidak memuaskan Jaksa Penuntut Umum, karena selain menguatkan putusan Pengadilan Negeri  Denpasar, terdakwa hanya dikenai hukuman membayar denda sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah).
Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasus ini ke Mahkamah Agung RI. Jaksa Penuntut Umum menyatakan keberatannya pada putusan Pengadilan Negeri dan juga putusan Pengadilan Tinggi yang sama sekali tidak mempertimbangkan tujuan dasar dari diundangkannya Undang-undang Merek, yaitu untuk melindungi pemegang hak atas merek sesungguhnya dan yang telah terdaftar, karena walaupun tergugat bukan orang yang memproduksi barang tersebut, tetapi sudah seharusnya tergugat mengetahui bahwa barang yang dijualnya adalah barang palsu dan hal tersebut adalah merupakan tindakan yang melawan hukum. Dengan hukuman pidana percobaan tidak dapat menimbulkan efek jera pada pelaku tindak pidana tersebut.
Sekali lagi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Denpasar dikalahkan oleh terdakwa pada tingkat kasasi, karena MARI menolak permohonan kasasi pemohon dan hanya menghukum termohon/terdakwa dengan pidana kurungan 10 (sepuluh) bulan dengan masa percobaan 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan juga untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah). Dalam Putusan MA No. 417 K/Pid/1998  diputuskan bahwa Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, yaitu Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Denpasar atas kasus perdagangan barang berlogo Channel palsu. 
 
2. Kasus Merek “Holland Bakery”
Duduk perkaranya adalah sebagai berikut, DR. Drs. F.X. J. Kiatanto, didakwa melakukan pemalsuan merek dengan meniru merek milik PT. Mustika Citra Rasa, yaitu Holland Bakery. PT. MCR adalah pemegang merek Holland Bakery yang terdapat gambar kincir angin, dan terdaftar pada Direktorat Jenderal HKI dengan nomor register 260637 dan telah mendapat sertifikat merek pada tanggal 28 Juni 1990 untuk jenis barang/jasa kelas produk 30, yaitu makanan, roti dan kue-kue. Sedangkan DR. Drs. F.X. J. Kiatanto adalah pemilik merek Holland Bakery disertai gambar bunga tulip untuk usaha jasa café/rumah makannya di Yogyakarta. Merek tersebut juga telah terdaftar pada Direktorat Jenderal HKI dengan nomor register 317559 dan telah mendapat sertifikat merek pada tanggal 21 November 1994 untuk kelas barang/jasa 43, yaitu jasa-jasa di bidang penyediaan makanan dan minuman, bar, kedai kopi (café), kafetaria, tempat makan yang menghidangkan kudapan (snack bar), warung kopi (coffee shop), jasa boga rumah makan (catering), jasa ruang bersantai untuk minum cocktail.
           
Mengetahui mereknya digunakan pihak lain, PT. MCR melaporkan Kiatanto ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Akan tetapi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta memutuskan dalam Putusan No. 26/Pid.B/2002/PN.YK bahwa terdakwa DR. Drs. FX Kiatanto terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu melakukan pemalsuan merek dengan meniru merek milik PT. Mustika Citra Rasa. Namun demikian Majelis Hakim menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Karena itu terdakwa, DR. Drs. FX Kiatanto dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 26/PID.B/2000/PN.YK diputuskan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi dinyatakan bukan sebagai tindak pidana sehingga dibebaskan dari tuntutan hukum. 
Pendapat hakim tersebut dapat dipahami secara formal, karena telah sesuai dengan rumusan delik dalam undang-undang. Akan tetapi hakim telah mengabaikan suatu landasan penting dalam dunia usaha, yaitu kejujuran dan ‘itikad baik’.  Sebenarnya seluruh bukti-bukti sudah dapat memberikan gambaran adanya upaya peniruan tersebut, namun Majelis Hakim tetap mempertahankan kebenaran format. Dalam Pasal 10 bis Konvensi Paris dinyatakan bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan honest practice in industrial and commercial matters dianggap sebagai perbuatan persaingan tidak jujur. Yurisprudensi terkenal yang mengedepankan unsur adanya ‘itikad buruk’ seharusnya juga dapat menjadi bahan pertimbangan oleh Majelis Hakim, sebagaimana dalam perkara merek Tancho[17].
Selain pada kasus merek Tancho maupun pada merek Playboy, keduanya hanyalah sebagian kecil dari contoh-contoh kasus pembajakan merek. Para pendaftar (pembajak) merek tersebut jelas tidak memiliki itikad baik dalam mendaftarkan merek. Tujuan pendaftaran tersebut tidak lain adalah untuk mendompleng ketenaran merek yang sudah terkenal. Memang, perlindungan merek pada prinsipnya bersifat teritorial[18] meski demikian bukan berarti bahwa tidak ada lagi perlindungan bagi pemilik merek yang sebenarnya. Keputusan Mahkamah Agung tersebut untuk memenangkan kasus Tancho adalah hal yang sangat tepat dan merupakan terobosan baru dalam perlindungan merek karena telah sesuai dengan Pasal 4 UU Merek , yaitu merek tidak dapat didaftarkan atas dasar Permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.
 
3. Kasus Merek “Hengst”
Duduk perkara kasus ini adalah berawal dari adanya kesepakatan antara Suwanto Halim, warga Negara Indonesia selaku merek “Hengst” yang terdaftar sejak tahun 1995 untuk produk saringan udara dan saringan oli mesin kendaraan berbahan bakar solar dengan PT. Pratama Pionir Sentosa yang berkedudukan hukum di Indonesia. Suwanto memberikan kuasanya kepada PT. Pratama Pionir Sentosa untuk memproduksi produk tersebut. Oleh PT. Pratama Pionir Sentosa, Suwanto ditunjuk sebagai distributor, akan tetapi PT. Pratama Pionir Sentosa pada akhirnya mencabut penunjukan distributor kepada Suwanto dan menyerahkannya kepada orang lain.
Suwanto kemudian juga mencabut kuasa pemakaian merek “Hengst” kepada PT. Pratama Pionir Sentosa, namun PT. Pratama Pionir Sentosa masih tetap menggunakan merek tersebut untuk produk-produknya. Suwanto kemudian melaporkan tindak pidana merek yang dilakukan oleh PT. Pratama Pionir Sentosa ke Polwitabes Surabaya.
Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum meminta kepada Hakim Pengadilan Negeri Surabaya untuk menyatakan bahwa PT. Pratama Pionir Sentosa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana merek, yaitu menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek orang lain yang terdaftar.
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 10/Pid.B/2000 tanggal 1 Agustus 2000 menyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada PT. Pratama Pionir Sentosa yang diwakili oleh direkturnya Herry Wanta Wijaya terbukti, namun perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Dengan demikian hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum serta mengembalikan semua barang dan mesin-mesin miliknya. Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum menyatakan kasasi. Dalam putusan tanggal 27 Februari 2001 No. 1677K/Pid/2000, Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum tersebut.
Dari contoh perkara tersebut dapat terlihat bahwa pemilik merek tidak terlebih dahulu menggugat secara perdata terhadap kasus merek yang dialaminya sehingga penilaian mengenai kepemilikan mereknya diserahkan kepada hakim perkara pidana. Hal ini merupakan kerugian bagi pemilik merek, karena dia tidak dapat membuktikan sebagai pemilik merek yang sebenarnya dan memiliki hak eksklusif untuk melarang pihak lain untuk memproduksi dan menggunakan mereknya.
 
Kesimpulan
Inti pada setiap bisnis yang sukses adalah merek yang digunakan oleh pelaku bisnis untuk mengidentifikasikan barang/jasa yang dijualnya. Selain menandai barang/jasa yang ditawarkan, merek juga harus dapat berfungsi sebagai alat untuk meyakinkan konsumen atas kualitas barang/jasa yang dilekati merek tersebut.
Pemilihan merek secara seksama adalah hal yang penting agar merek tersebut dikenali oleh konsumen. Hal ini seringkali memerlukan pengorbanan waktu dan biaya yang tidak sedikit didalam mempromosikan merek untuk menjadi merek yang terkenal. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 6 huruf b UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek bahwa ada beberapa prasyarat untuk sebuah merek dikategorikan sebagai merek terkenal, yaitu pengetahuan umum masyarakat mengenai merek yang bersangkutan, reputasi karena adanya promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia, dan juga bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara.
Sungguh merupakan hal yang sangat merugikan bagi pemilik merek terkenal apabila mereknya disalahgunakan oleh pihak lain dengan itikad tidak baik yang pada akhirnya akan memperdaya konsumen, sehingga tidak mempercayai lagi kualitas merek yang sesungguhnya.
Undang-undang Merek telah mengatur ketentuan pidana yang bertujuan untuk membela kepentingan dan memberi perlindungan kepada pemilik merek secara luas dan masyarakat (konsumen) dari perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sehingga dengan demikian pasar Indonesia akan terbebas dari barang bermutu rendah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi di sisi lain, dari kasus yang dijelaskan di muka, tampaknya tidak mudah untuk melakukan penegakan hukum di masyarakat. Selain itu juga, sosialisasi oleh pemerintah secara terus menerus mengenai pentingnya HKI dan khususnya penegakan hukum atas merek di masyarakat dinilai masih sangat penting.
(Penulis (Cita Citrawinda) lahir di Amsterdam, 16 Februari 1958. Memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia (1985), Master dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual (MIP) dari Franklin Pierce Law Center, Concord, New Hampshire, Amerika Serikat (1993), Doktor dalam bidang ilmu hukum dari Universitas Indonesia  (1999) dengan predikat cum laude). 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Agreement Between the World Intellectual Property Organization and the World Trade Organization (1995): Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement) (1994): Provision mentioned in the TRIPs Agreement of the Paris Convention (1967), the Berne Convention (1971), the Rome Convention (1961), the Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits (1989), the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994) and the WTO Dispute Settlement Understanding (1994) (Geneve: WIPO Publication No. 223 [E], 1996).
 
Republik Indonesia, Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek
Republik Indonesia, Undang-undang No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan
Republik Indonesia, Undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.
Christopher Heath dan Kung-Chung Liu, The Protection of Well Known Marks in Asia (London: Kluwer Law International), 2000
Cita Citrawinda Priapantja, “Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia” makalah disampaikan pada Seminar HaKI dan Penegakan Hukumnya (Jakarta: 19 – 20 September 2001)
Cita Citrawinda Priapantja, “Perlindungan Merek di Indonesia”, paper disampaikan pada Pelatihan Fasilitator HAKI (Jakarta: 27 Oktober 2001)
Harian Kompas, 9 April 2002
M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-undang No. 19 Tahun 1992 (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1996)
Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti) 2003
Nils Victor Montan, et. al, Trademark Anti Counterfeiting in Asia and the Pacific Rim (New York: INTA, 2001)
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Undang-undang Merek Baru Tahun 2001, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti) 2002
Sudargo Gautama dan  Rizawanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek di Indonesia (dalam rangka WTO, TRIPs)  (Bandung: Alumni) 1997
Sudargo Gautama, Hak Milik Intelektual dan Perjanjian Internasional: TRIPs, GATT dan Putaran Uruguay, (Bandung: Citra Aditya Bakti) 1994
www.ustr.gov/Document_Library/Reports_Publications/2005/2005_Special_301
http://www.inta.org/., Request for Action by INTA Board of Director, Report on the Enforcement Provision  of the TRIPs Agreement, November 20, 1996
 
Putusan-putusan:
Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 26/PID.B/2000/PN.YK
Putusan MA No. 417 K/Pid/1998 
Putusan MA No. 1677 K/Pid/2000
 
END NOTE:
[1] Sudargo Gautama dan Rizwanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam rangka WTO, TRIPs). (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 5-6.Lihat juga Cita Citrawinda Priapantja, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar HKI dan Penegakan Hukumnya yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Prancis bekerjasama dengan Perhimpunan Masyarakat HKI Indonesia (Indonesian Intellectual Property Society/IIPS) pada tanggal 19 – 20 September 2001 hal. 1 bahwa: “Merek sebagai salah satu wujud karya intelektual memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan investasi. Merek (dengan brand image-nya) dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas produk atau jasa dalam suasana persaingan bebas. Oleh karena itu merek dapat merupakan asset individu maupun asset perusahaan yang dapat menghasilkan keuntungan yang besar, tentunya apabila didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan proses manajemen yang baik.”
[2] Pemerintah RI telah menandatangani Persetujuan TRIPs pada tanggal 15 April 1994 dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Establishing the World Trade Organization melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Selain itu juga telah meratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization, melalui Keppres No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979, dan Trademark Law Treaty (TLT) melalui Keppres No 17 Tahun 1997.
[3]  Op.cit hal. 6-7. Lihat Pasal 1  Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek: “ Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.” Lihat juga Pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut:
(1)     Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
a.    mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis;
b.    mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c.     mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal.
(2)     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3)     Permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
a.        merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
b.        merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional,  kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;
c.        merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
[4] Lihat Laporan USTR – 2005 Special 301 Report yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang masuk dalam kategori Priority Watch List. Selain Indonesia, negara-negara yang juga termasuk dalam kategori Priority Watch List adalah Argentina, Brazil, Mesir, India, Israel, Kuwait, Libanon, Pakistan, Filipina, Rusia, Turki dan Venezuela. USTR menyatakan bahwa negara yang masuk dalam kategori Priority Watch List adalah negara yang tidak memberikan perlindungan HKI secara memadai maupun penegakan hukumnya.
[5] Sudargo Gautama, Hak Milik Intelektual dan Perjanjian Internasional: TRIPs, GATT dan Putaran Uruguay, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 27.
[6] Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 202.
 
[7] Pasal 10bis Paris Convention for the Protection of Industrial Property (1967)  berbunyi sebagai berikut:
(1)     The Countries of the Union are bound to assure to nationals of such countries effective protection against unfair competition.
(2)     Any act of competition contrary to honest practices in industrial or commercial matters constitutes an act of unfair competition.
(3)     The following in particular shall be prohibited:
1.  all acts of such a nature as to create confusion by any means whatever with the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor;
2.  false allegations in the course of trade of such a nature as to discredit the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor;
3.  indications or allegations the use of which in the course of trade is liable to mislead the public as to the nature, the manufacturing process, the characteristics, the suitability for their purpose, or the quantity, of the goods.
[8] Sebelumnya merek dilindungi berdasarkan Undang-undang No. 14 tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 19 tahun 1992 tentang Merek. Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek sebagai pengganti Undang-undang No. 14 tahun 1997 juncto Undang-undang No. 19 tahun 1992.
[9] Undang-undang No. 21 tahun 1961 menganut sistem deklaratif (first to use), artinya  “siapa yang pertama-tama memakai suatu merek di dalam wilayah Indonesia dianggap sebagai pihak yang berhak atas merek yang bersangkutan”.
[10] Bandingkan dengan Undang-undang No. 14 tahun 1997 bahwa ancaman pidana penjara yang dikenakan terhadap terdakwa menunjukkan kecenderungan menurun, sementara sanksi denda  cenderung ditingkatkan. Sanksi penjara yaitu paling lama 7 (tujuh) tahun, sedangkan sanksi denda yang dikenakan terhadap terdakwa pelanggaran merek adalah paling banyak hanya sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).
[11] Lihat juga Nils Victor Montan, Chander M. Lall dan Clifford Borg-Marks, (Author & Ed.), Trademark Anticounterfeiting in Asia and The Pacific Rim (New York: INTA) 2001, hal 97 bahwa: “Menurut Monstret, untuk menentukan apakah merek tersebut termasuk dalam kategori “well known” atau “famous”, maka ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan, yaitu:
1.        tingkat pengakuan akan merek yang bersangkutan;
2.        tingkat penggunaan serta jangka waktu penggunaan merek;
3.        tingkat keluasan dan jangka waktu iklan dan promosi dari merek;
4.        tingkat keluasan dimana merek tersebut diakui, digunakan, diiklankan, didaftarkan dan dilaksanakan secara geografis, atau faktor-faktor lain yang berhubungan yang dapat menentukan jangkauan merek tersebut secara geografis, yaitu lokal,regional atau seluruh dunia;
5.        tingkat daya pembeda yang dimiliki merek tersebut;
6.        derajat keeksklusifan merek serta sifat dan keluasan penggunaan merek yang sama atau serupa oleh pihak ketiga;
7.        sifat barang atau jasa serta jalur perdagangan atas barang dan jasa yang menunjang merek tersebut;
8.        derajat dimana reputasi merek melambangkan kualitas barang; dan
9.        keluasan dari nilai komersial yang dihubungkan dengan merek.
 
[12] Lihat Persetujuan TRIPs Pasal 51 dan 52 yang teks aslinya berbunyi sebagai berikut:
 
Article 51
 “Members shall, in conformity with the provisions set out below, adopt procedures to enable a right holder, who has valid grounds for suspecting that the importation of counterfeit trademark or pirated copyright goods may take place, to lodge an application in writing with competent authorities, administrative or judicial, for the suspension by the customs authorities of the release into free circulation of such goods. Members may enable such an application to be made in respect of goods which involve other infringements of intellectual property rights, provided that the requirements of this Section are met. Members may also provide for corresponding procedures concerning the suspension by the customs authorities of the release of infringing goods destined for exportation from their territories.”
 
Article 52
“Any right holder initiating the procedures under Article 51 shall be required to provide adequate evidence to satisfy the competent authorities that, under the laws of the country of importation, there is prima facie an infringement of the right holder’s intellectual property right and to supply a sufficiently detailed description of the goods to make them readily recognizable by the customs authorities. The competent authorities shall inform the applicant within a reasonable period whether they have accepted the application and, where determined by the competent authorities, the period for which the customs authorities will take action.”
 
[13] Dalam harian Kompas tanggal 9 April 2002. Memperindag Rini MS Soewandi melalui Kepala Perwakilan Perdagangan AS Robert B Zoellich meminta agar Pemerintah AS mengubah status Priority Watch List (PWL) menjadi Watch List (WL) bagi Indonesia.
[14] Lihat Pasal 85 mengenai Penetapan Sementara Pengadilan yang menyatakan bahwa:
“Berdasarkan bukti yang cukup pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang:
a.  pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran hak merek;              
b.  penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek tersebut.”
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah pihak pelanggar menghilangkan barang bukti.
[15] Lihat Pasal 84 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
[16] Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Undang-undang Merek Baru Tahun 2001, (Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 189. Lihat juga http://www.inta.org/., Request for Action by INTA Board of Director, Report on the Enforcement Provision  of the TRIPs Agreement, November 20, 1996 hal. 6 bahwa International Trademark Association mengingatkan bahwa Article 50 tersebut masih membuka kesempatan bagi pihak yang diduga memalsu merek untuk segera memusnahkan label atau merek yang dipergunakannya tersebut, sehingga “penetapan sementara pengadilan” tersebut dapat ditentang oleh penggugat. Sehingga INTA berpendapat bahwa seharusnya bagian ini dianggap sebagai minimum requirements yang diatur dalam Persetujuan TRIPs. Pembuat Undang-undang masing-masing negara seharusnya menyiapkan peraturan yang lebih ketat lagi dengan mempertimbangkan berbagai segi.
[17]  Dalam perkara PT. Tancho Indonesia menggugat Wong A Kiong yang meniru produk milik PT. Tancho Jepang untuk produk kosmetika. Di Indonesia sendiri merek Tancho telah didaftarkan oleh Wong A Kiong sejak tahun 1965, sedangkan PT. Tancho sendiri berdiri di Indonesia pada tahun 1971. Namun pada akhirnya Mahkamah Agung memenangkan PT. Tancho Indonesia, dan secara tegas menentukan siapa sebenarnya pemilik yang sah dari suatu merek, yaitu pihak yang memakainya pertama atau telah mendaftarkannya lebih dahulu, tetapi hanya untuk orang yang memiliki itikad baik.
[18] Christoper Heath dan Kung-Chung Liu, The Protection of Well-Known Marks in Asia, (London: Kluwer law International, 2002), hal.1-2.
Catatan: Tulisan ini juga dimuat di dalam Buletin Legalitas/Legislasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tolong Komentarin Posting - posting qu ya.....terima kasih