Selasa, 06 April 2010

Indonesian Politic

3| Tata Pemerintahan
Pada bagian terdahulu kita telah mempelajari berbagai teori tentang negara. Secara singkat dapat dikatakan bahwa negara merujuk pada seperangkat lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengendalikan wilayah tertentu berikut warganegara yang mendiaminya. Konsep yang memiliki kaitan amat dekat dengan negara adalah pemerintahan. Secara konseptual, pemerintahan memiliki lingkup yang lebih sempit ketimbang negara. Pemerintahan melingkupi lembaga dan proses formal di mana fungsi negara – untuk menjaga tatanan sosial dan mewujudkan kesejahteraan – dijalankan dalam keseharian.
Keberadaan berbagai lembaga pemerintahan terkait dengan pembuatan, penerapan, dan penjabaran hukum. Lembaga yang dimaksud dalam hal ini adalah lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif (fungsi dan peran masing-masing lembaga akan kita bahas lebih detil nanti). Konsep pemerintahan sendiri mesti dibedakan dari pemerintah. Pemerintah pada dasarnya merujuk pada lembaga eksekutif (yang berada di bawah kendali presiden, atau perdana menteri, atau kanselir). Sementara proses yang dimaksud dalam konsep pemerintahan di atas mencakup kegiatan untuk membuat keputusan dan untuk memastikan bahwa keputusan tersebut diterapkan secara tepat.

Apakah Orang Membutuhkan Pemerintahan?
Dalam berbagai bentuknya yang sederhana, pemerintahan telah lama menjadi bagian dari kehidupan manusia. Di masa lalu, mereka yang mengangankan keteraturan dalam suatu tatanan sosial mencoba untuk mengorganisasikan diri dalam suatu perikatan. Mereka juga menetapkan mekanisme tertentu untuk menggerakkan perikatan tersebut. Berbeda dari perikatan semacam itu, negara sebagai lembaga modern – meskipun belum sekompleks sekarang – baru mulai muncul pada sekitar abad kelimabelas. Dengan demikian, pemerintahan sebagai lembaga dan proses tidak harus selalu mengejawantah dalam suatu negara. Persoalannya, benarkah orang membutuhkan suatu pemerintahan agar kehidupan dapat tertata secara lebih baik dan berkeadilan? Secara umum ada dua pandangan yang bertentangan mengenai hal itu.
Pandangan klasik yang mendukung keberadaan pemerintahan dapat ditemukan dalam teori-teori kontrak sosial. Thomas Hobbes (1588-1679), misalnya, menggambarkan keadaan alamiah manusia sebagai ‘terpisah satu sama lain, menyedihkan, brutal, dan hanya berlangsung singkat’. Secara kodrati manusia cenderung berselisih satu sama lain. Tanpa pemerintahan yang mampu mengekang gejolak kehendak untuk mementingkan diri sendiri, niscaya tatanan dan stabilitas akan mustahil diwujudkan. Sementara John Locke (1632-1704) beranggapan bahwa dalam keadaan alami, manusia sesungguhnya adalah makhluk yang bebas. Tetapi, nafsu dan dendam dapat menerbitkan kekacauan. Untuk mencegahnya perlu ada suatu badan yang mempunyai hak untuk membuat undang-undang serta mengatur dan memelihara hak milik demi kebaikan bersama. Bila sejumlah manusia telah setuju untuk membuat suatu masyarakat atau pemerintahan (melalui kontrak sosial), di dalamnya mayoritas memiliki hak untuk mengambil tindakan. Pendeknya, teori kontrak sosial memandang pemerintahan sebagai sesuatu yang penting untuk melindungi manusia dari kejahatan dan kebiadaban.
Sebaliknya, pandangan anarkis (secara harafiah berarti ‘tanpa aturan’) beranggapan bahwa harmoni sosial akan terbangun secara spontan mengingat setiap individu memahami bahwa kepentingan bersama yang mengikat mereka jauh lebih kuat ketimbang kepentingan pribadi yang memecah-belah. Kehadiran pemerintahan, yang menegaskan kekuasaan dari atas, hanya akan menindas kebebasan sehingga menyebabkan terjadinya konflik. Anarkisme menolak negara dan lembaga pemerintahan serta hukum. Bagi mereka masyarakat tanpa negara akan membuat manusia bebas mengatur urusan mereka sendiri melalui persetujuan sukarela, tanpa paksaan dan tekanan. Kekuasan politik, dalam segala bentuknya, adalah jahat dan tidak perlu.
Pada kenyataannya, saat ini pandangan kaum anarkis hanya memperoleh dukungan dari sebagian kecil kelompok. Sebagian besar orang meyakini bahwa pengorganisasian diri ke dalam suatu negara akan memberi kemanfaatan yang lebih besar kepada mereka ketimbang kemudaratan yang mengikutinya.

Sistem Politik dan Sistem Ekonomi
Sistem politik memiliki lingkup yang lebih luas ketimbang sekadar sistem pemerintahan. Sistem politik tidak hanya mencakup mekanisme pemerintahan dan lembaga-lembaga negara, melainkan pula struktur dan proses yang mewarnai interaksi lembaga-lembaga tersebut dengan rakyat. Pendeknya, sistem politik menunjukkan bagaimana pengambilan keputusan dilakukan dan bagaimana pula hubungan antara negara dan warganegara. Kata rezim, biasanya digunakan untuk menggambarkan sistem politik suatu negara secara umum. Dari sini kita mengenal pembedaan antara ‘rezim otoriter’ (yang menindas rakyat) dan ‘rezim demokratis’ (yang mengakui perbedaan dan kebebasan).
Dalam tipologi klasik, pembedaan antarsistem politik didasarkan pada dua hal, yaitu: ‘siapa yang memerintah’ dan ‘siapa yang memperoleh manfaat terbesar darinya”. Berdasarkan pembedaan tersebut, Aristoteles (384-322 SM) membuat batasan yang dapat digambarkan sebagai berikut.
Sistem Politik
yang Baik
Batasan
Sistem Politik
yang Merosot
Batasan
Monarki
Kekuasaan oleh satu
orang untuk
kesejahteraan bersama.
Tirani
Kekuasan oleh satu
orang demi keuntungan
diri sendiri.
Aristokrasi
Kekuasaan oleh
segelintir orang untuk
kesejahteraan bersama.
Oligarki
Kekuasaan oleh
segelintir orang demi
keuntungan gol kaya.
Politeia
Kekuasaan oleh banyak
orang demi
kesejahteraan bersama.
Demokrasi
Kekuasaan oleh
banyak orang demi
keuntungan gol miskin.
Tabel Tipologi Sistem Politik Menurut Aristoteles

“Kita menamai monarki kepada mereka yang mengarahkan diri pada kesejahteraan umum, kepada kerajaan. Kita menamai aristokrasi untuk pemerintahan-pemerintahan beberapa orang, yakni banyak orang sebagai kesatuan. Namun, jika orang banyak memerintah demi manfaat umum, pemerintahan ini dinamai politeia (polis: negara, polites: warganegara). Bentuk-bentuk merosot dari bentuk-bentuk di atas adalah tirani untuk monarki, oligarki untuk aristokrasi, dan demokrasi untuk politeia. Karena tirani adalah pemerintahan satu orang demi keuntungan sang penguasa, oligarki adalah pemerintahan demi keuntungan golongan kaya, dan demokrasi adalah pemerintahan demi keuntungan golongan miskin,” demikian kata Aristoteles.
Sesungguhnya, pemerintahan modern jauh lebih kompleks ketimbang tipologi yang dikembangkan oleh Aristoteles lebih daripada duaribu tahun yang silam tersebut. Kompleksitas ini merupakan konsekuensi nyata berkembangnya kehidupan manusia. Selain itu, sistem-sistem politik itu sendiri telah mengalami pergeseran makna (baik akibat perubahan praktik politik maupun meningkatnya kesadaran politik). Demokrasi, misalnya, kini dipandang sebagai sistem yang lebih membuka ruang partisipasi dan diarahkan untuk kesejahteraan bersama ketimbang sistem-sistem lainnya. Dengan begitu, demokrasi merupakan suatu sistem politik yang dipandang baik.
Demokrasi liberal dicirikan antara lain oleh: 1) konstitusionalisme [penghormatan terhadap konstitusi yang secara umum mengatur fungsi dan tanggungjawab negara serta hak-hak rakyat]; 2) kekuasaan tidak terpusat, melainkan dibagi melalui lembaga-lembaga negara sehingga melahirkan ‘checks and balances’ [saling mengawasi dan mengimbangi]; 3) adanya civil society [antara lain organisasi profesi, organisasi kepemudaan, kelompok-kelompok penekan] yang mandiri dan kuat sehingga dapat mengawal praktik pemerintahan agar diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam hal bentuk negara, monarki kini kerap diperlawankan dengan republik. Monarki (monos: sendiri, arkhein: memerintah) adalah pemerintahan oleh satu orang, di mana kekuasaan sang raja/ratu diwariskan secara turun-temurun. Sementara dalam republik (res publica: urusan rakyat) kekuasaan tidak diwariskan (umumnya dipilih secara langsung atau tidak langsung oleh rakyat). Indonesia termasuk negara kesatuan dengan bentuk republik (pasal 1 ayat 1 UUD 1945), yang secara ideal menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Pembedaan antara konsep monarki dan republik lebih menunjukkan ‘apakah kekuasaan sang pemimpin dapat diwariskan secara turun temurun ataukah tidak’. Konsep ini tidak membedakan ‘apakah kekuasaan diarahkan untuk kesejahteraan bersama ataukah tidak’. Ada monarki yang absolut (mutlak), ada pula monarki konstitusional yang membatasi kekuasaan raja dan memberi ruang partisipasi bagi rakyat. Demikian pula, ada republik yang demokratis dan ada pula republik yang menindas.
Tipologi pemerintahan dapat pula disusun berdasarkan kriteria peran ekonomi pemerintah suatu negara. Pengelompokan tersebut dapat disusun menurut pertanyaan: ‘seberapa besar peran (kepemilikan dan campur tangan) negara dalam sektor ekonomi?’ dan ‘seberapa besar bagian dari kesejahteraan negara yang mesti diredistribusi kepada kalangan berkekurangan?’. Berdasarkan kriteria tersebut kita dapat mengelompokkan pemerintahan menjadi empat jenis: laissez faire, statisme, sosialisme, dan negara kesejahteraan.
Dalam sistem laissez faire negara hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak menguasai suatu industri sama sekali. Campur tangan negara untuk melakukan redistribusi kesejahteraan bagi kalangan bekekurangan juga amat minim. Sistem ini didasarkan pada gagasan bahwa semakin sedikit campur tangan negara terhadap perekonomian akan berdampak semakin baik bagi kesejahteraan. Campur tangan negara terhadap ekonomi dianggap hanya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya mengurangi kesejahteraan. Kesejahteraan seseorang akan secara alamiah ditentukan oleh kemampuan dan kemauannya, sementara negara tidak memiliki hak untuk mencampuri proses alamiah tersebut. Inilah semacam bentuk kapitalisme klasik yang telah banyak ditinggalkan, terutama sejak kegagalan sistem ini dalam menghadapi depresi ekonomi 1930an dan gejolak pasca Perang Dunia.
Berlawanan dengan laissez faire, dalam statisme (negaraisme) perekonomian amat ditentukan oleh campur tangan negara yang berlangsung terus-menerus. Negara mengarahkan penanaman modal, menetapkan upah dan harga, serta mengawasi pasar tenaga kerja. Penerapan statisme umumnya didasarkan pada gagasan bahwa hanya pemerintahlah yang memiliki cukup uang, gagasan, dan tenaga untuk memelopori bergeraknya industri. Sistem ini biasanya diterapkan di negara-negara yang baru membangun, atau negara-negara yang memusatkan kekuasan politik di tangan penguasa. Jepang dapat disebut sebagai negara yang paling sukses menerapkan sistem ini, dalam tingkat yang sedikit longgar Indonesia pun dapat disebut menerapkan statisme (terutama di masa Orde Baru).
Sistem sosialisme memberi peran yang amat besar bagi negara untuk tidak hanya menguasai sumberdaya produksi, melainkan pula untuk melakukan redistribusi kesejahteraan secara lebih merata dan berkeadilan. Negara-negara Eropa Timur – seperti Uni Soviet, Jerman Timur, Yugoslavia, dan Hungaria – di masa pemerintahan Komunis banyak menerapkan sistem ini. Seiring ambruknya rezim-rezim Komunis birokratik totaliter, sistem ini menjadi surut daya tariknya.
Sistem negara kesejahteraan umum pula disebut demokrasi sosial. Dalam sistem ini negara memiliki sedikit atau tidak menguasai suatu industri pun, namun perannya amat besar dalam melakukan redistribusi kesejahteraan bagi kalangan berkekurangan. Secara umum kebijakannya adalah membebankan pajak yang tinggi kepada kalangan yang berkecukupan, dana tersebut kemudian didistribusikan kembali kepada rakyat melalui asuransi kesehatan, perawatan anak, dana pensiun, jaringan pengaman sosial untuk rakyat miskin, dan sebagainya. Negara-negara Skandinava, seperti Denmark dan Swedia, menerapkan sistem semacam ini.
Kini sulit sekali untuk menemukan suatu negara yang menerapkan salah satu sistem di atas secara kaku. Kebanyakan negara melakukan adaptasi, sehingga sistem politik dan ekonominya lebih menyerupai suatu sistem campuran. Negara-negara sosialis kini semakin membuka pasarnya sehingga peran kalangan swasta menguat, sementara negara-negara kapitalis kini juga memberi perlindungan yang cukup memadai bagi kalangan berkekurangan melalui mekanisme redistribusi kesejahteraan.

Sistem Pemerintahan
Salah satu hal pokok yang berpengaruh besar membentuk wajah sistem politik suatu negara adalah hubungan antara dewan perwakilan dan pemerintah. Hubungan kekuasaan antara dua lembaga ini biasa dikenal sebagai sistem pemerintahan. Secara umum ada tiga model sistem pemerintahan, yaitu: sistem parlementer, sistem presidensial, dan sistem campuran.
Sebagian besar negara-negara demokrasi dunia saat ini mempraktikkan sistem pemerintahan parlementer. Sistem bergaya Westminster (Parlemen Inggris) banyak dijadikan rujukan praktik pemerintahan parlementer. Dalam sistem ini kekuasaan eksekutif dibagi ke dalam dua bagian, yaitu seorang perdana menteri atau kanselir yang memegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan dan seorang presiden atau raja yang menjalankan kekuasaan sebagai kepala negara. Umumnya, raja memperoleh kekuasaannya secara turun temurun, sedangkan presiden dipilih oleh dewan perwakilan atau secara langsung oleh rakyat.
Dapat digambarkan secara sederhana bahwa proses pembentukan pemerintahan dimulai dari pemilihan umum (pemilu). Pemilu ini diselenggarakan untuk memilih anggota dewan perwakilan (parlemen). Partai pemenang pemilu, yang menguasai dewan perwakilan, memiliki hak terbesar untuk membentuk suatu pemerintahan. Dalam kasus tidak terdapat kekuatan mayoritas dalam dewan perwakilan untuk membentuk suatu pemerintahan, partai memiliki hak untuk membangun koalisi (persekutuan) dengan partai lain hingga mereka mampu memenuhi prasyarat jumlah dukungan minimum di parlemen untuk membentuk pemerintahan. Partai yang bergabung biasanya memiliki kedekatan ideologis atau kesepahaman program kerja.
Sistem parlementer tidak membedakan secara tegas antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Pemerintah dibentuk dari dan secara politik bertanggungjawab kepada dewan perwakilan. Dengan demikian, pemerintah hanya bertanggungjawab secara tidak langsung kepada para pemilih. Kepala pemerintahan (biasanya dipegang oleh ketua partai pemenang pemilu) diangkat oleh kepala negara. Sementara para menteri ditunjuk oleh kepala pemerintahan. Di kebanyakan negara yang mempraktikkan sistem parlementer, para menteri adalah juga anggota dewan perwakilan. Mereka bekerja sebagai satu lembaga kolektif.
Kepala pemerintahan memiliki kewenangan untuk mengusulkan kepada kepala negara untuk membubarkan dewan perwakilan. Ini biasanya dilakukan ketika terjadi kebuntuan politik saat kebijakan yang ditawarkan oleh kepala pemerintahan terganjal di dewan perwakilan. Setelah dewan perwakilan dibubarkan, diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota dewan (proses selanjutnya bergulir mengikuti siklus yang telah digambarkan di atas). Sebaliknya, pemerintah pun dapat diturunkan oleh dewan perwakilan melalui ‘mosi tidak percaya’. Hal ini terjadi manakala dewan memandang bahwa pemerintah tidak mampu menjalankan fungsinya secara tepat dan efektif, sementara dukungan politik terhadap pemerintah amat lemah. Dalam sistem ini, pemerintahan akan stabil dan mampu mengambil keputusan secara efektif jika didukung oleh mayoritas dalam dewan perwakilan.
Berbeda dengan sistem parlementer, dalam presidensialisme presiden bertindak sekaligus sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Umumnya presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan dia memiliki masa jabatan yang tetap, kecuali dimakzulkan (impeach) karena sebab-sebab yang amat mendasar (seperti berkhianat kepada negara, korupsi, atau melakukan kejahatan besar lainnya). Dengan masa jabatan yang tetap, pemerintahan presidensial biasanya lebih stabil. Namun, kelemahannya, pemerintah tidak dapat diturunkan manakala presiden tidak mampu bekerja secara efektif dan tidak mampu membuat kebijakan yang tepat untuk kesejahteraan rakyat. Jika dalam sistem parlementer seorang politikus dapat berulang-ulang dipilih sebagai perdana menteri pada periode pemerintahan yang berbeda, dalam presidensialisme biasanya terdapat pembatasan (umumnya dua kali).
Dalam presidensialisme terdapat pemilahan yang tegas antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Pemilahan kekuasaan ini dimaksudkan agar ada saling mengimbangi (checks and balances) antara ekskutif dan legislatif dan tidak ada fokus kekuasaan dalam sistem politik. Presiden tidak bertangungjawab kepada dewan perwakilan dan tidak dapat membubarkan dewan perwakilan. Presiden bertanggungjawab secara langsung kepada para pemilih. Anggota dewan perwakilan tidak boleh menduduki jabatan di lembaga eksekutif, demikian pula sebaliknya. Presiden berwenang untuk mengangkat para menteri sebagai pembantu-pembantunya.
Model sistem presidensial yang banyak dirujuk adalah apa yang dipraktikkan di Amerika Serikat. Negara-negara di kawasan Amerika Latin banyak mempraktikkan sistem ini. Namun, umumnya negara-negara tersebut tidak mampu mewujudkan stabilitas politik dan efektifitas pemerintahan sebagaimana Amerika Serikat. Di bawah Undang Undang Dasar 1945, Indonesia menerapkan sistem presidensial. Pada 2004, untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebelumnya suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat (yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan utusan-utusan yang ditunjuk) sebagai lembaga tertinggi negaralah yang memilihnya. Secara statistik, tidak banyak negara-negara yang menerapkan presidensialisme mampu mencapai keadaan demokrasi yang stabil dalam jangka panjang.



Pertanyaan-pertanyaan.
1.Menurut Anda, apakah keberadaan suatu pemerintahan memberi banyak manfaat sehingga harus didukung, atau malah membelenggu sehingga harus ditiadakan?
2.Bagaimanakah peran ekonomi pemerintah dalam suatu negara yang menganut sistem negara kesejahteraan atau demokrasi sosial?
3.Jelaskan perbedaan pokok antara sistem pemerintahan presidensial dan parlementer!
4.Untuk pertama kalinya pada 2004 Presiden dan Wakil Presiden Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Apakah hal ini membuat pemerintah lebih bertanggungjawab ketimbang sebelumnya? Jelaskan.
5.Kekuasaan yang terbagi-bagi di antara lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan legislatif) dapat meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan (karena ada mekanisme pengawasan dan perimbangan), sementara pemusatan kekuasaan di tangan pihak tertentu cenderung bersifat mutlak. Benarkah demikian?



Sumber Bacaan:
Lijphart, Arend (ed), 2002 (4th edt), Parliamentary Versus Presidential Government, Oxford University Press, Oxford.
Noer, Deliar, 1997, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Mizan Pustaka, Bandung.
Heywood, Andrew, 1999 (2nd edt), Political Theory: An Introduction, Macmillan Press, London.
Roskin, Michael G. et al., 2000, Political Science: An Introduction, Prentice Hall, New Jersey.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tolong Komentarin Posting - posting qu ya.....terima kasih