Selasa, 06 April 2010

tugas final desktop

Definisi Global Warming !!! Dec 29, '07 5:20 AM
for everyone

Ternyata tidak banyak orang yang faham definisi global warming yang sebenarnya. Lalu, apa definisi global warming itu? Global warming adalah peningkatan suhu di dalam atmosfir bumi disebabkan oleh emisi Gas Rumah Kaca (terutama CO2) yang tertahan di stratosfer yang kemudian menghalangi pemantulan kembali radiasi sinar matahari dari bumi ke luar angkasa.
Secara alami, bumi hanya menyerap sebagian kecil radiasi sinar matahari yang masuk ke atmosfir, kemudian sebagian besar akan dipantulkan lagi keluar angkasa. Namun, karena adanya Gas Rumah Kaca di lapisan stratosfer, radiasi tersebut tidak dapat keluar dari atmosfer bumi, bahkan dipantulkan kembali ke permukaan bumi. Sehingga suhu di dalam atmosfer bumi menjadi lebih panas.

Go Green Indonesia

Apa itu Go Green Indonesia ?
Go Green Indonesia adalah sebuah blog yang isinya lebih memfokuskan kepada bahaya Pemanasan Global yang kini menjadi isu hangat di kalangan masyarakat.

Sejak kapan Go Green Indonesia ada?
Go Green Indonesia dibentuk pada 8 Februari 2008 oleh dua remaja Indonesia; Lalla Pratami (yang saat itu berumur 18 tahun) dan Melinda (yang saat itu berumur 15 tahun). Dengan semangat untuk menghijaukan Indonesia, mereka berinisiatif untuk menyebarkan bahaya ini dan mengingatkan manusia khususnya masyarakat Indonesia.

Mengapa Go Green Indonesia?
Agar lebih mudah diingat dan tujuan yang ingin disampaikan oleh Lalla dan Melinda jelas : menghijaukan Indonesia. Tiga kata itu juga membawa hawa semangat saat mengucapkannya sehingga mampu memberikan energi positif tersendiri saat mengucapkan ‘Go Green Indonesia!’.

Siapa saja yang terlibat dalam Go Green Indonesia?
Ada sekitar 300 orang yang ikut ‘daftar’ dalam Go Green Indonesia lewat email, dan lebih dari 10.000 orang yang join dalam cause Go Green Indonesia di facebook. Dalam ‘urusan dapur’ Go Green Indonesia, hanya dua orang yang terlibat dengan tugasnya masing-masing. Lalla Pratami, lebih mengkhususkan untuk mengurusi setiap email yang masuk, termasuk pendaftaran, pengiriman artikel, maupun beberapa pertanyaan, desain blog, juga mengurusi cause Go Green Indonesia di facebook. Melinda, mengurusi publikasi, menulis artikel, juga friendster Go Green Indonesia.

Dimana bisa menemukan Go Green Indonesia?
Blog kami bisa dibuka di sini, cause di facebook bisa dibuka di sini serta friendster kami bisa diadd di sini.

Tujuan Go Green Indonesia
- Menghijaukan Indonesia
- Menyebarluaskan masalah pemanasan global ke seluruh Indonesia
- Meningkatkan antusias masyarakat Indonesia tentang isu pemanasan global
- Mengajak semua masyarakat Indonesia untuk hidup lebih hijau

Program Kerja Go Green Indonesia
Di tahun pertamanya ini, Go Green Indonesia belum memiliki acara yang diselenggarakan secara indie dikarenakan satu dan lain hal. Tahun ini kami hanya memfokuskan dalam artikel di blog dan penyebaran blog ini kepada masyarakat Indonesia. Semoga di tahun berikutnya kami bisa mengadakan acara yang bertema ’hijau’ sehingga masyarakat yang sadar akan bahaya Global Warming akan semakin banyak.

Berafiliasi dengan Go Green Indonesia
Beberapa pihak sudah sempat kami ajak dan mengajak kami untuk berafiliasi. Ada yang menerima, ataupun tidak mengirim balasan atas ajakan afiliasi kami. Pihak yang berafiliasi dengan Go Green Indonesia akan dipasang banner-nya di blog Go Green Indonesia pada bagian ’Our Partners’ sehingga orang pun bisa mengetahui bahwa pihak yang berafiliasi dengan kami juga peduli dengan masalah pemanasan global ini. Juga tidak menutup kemungkinan pengunjung Go Green Indonesia akan me-link url dari pihak yang berafiliasi sehingga juga mampu menyebarkan situs dari pihak yang berafiliasi dengan Go Green Indonesia.



Global Warming

Global warming is an average increase in the earth’s overall temperature. Increased temperatures affect climate and human dependence on earth’s resources. The enormous increase in greenhouse gasses (GHGs) since the beginning of the industrial age is believed to be the causation of increasing global warming. Without a global effort to quickly reverse the trend, the potential for food shortages, wars over water, and displaced habitats is, unfortunately, not only possible, but likely.

PERKEMBANGAN HUTAN TAHUN 2009
LEI : Kebangkitan Industri Kehutanan tak Harus Habiskan Hutan Alam

Bogor, 5/2 (Republika): Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), organisasi berbasis konstituen (CBO) yang mempunyai misi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari di Indonesia, menyatakan bahwa untuk mendorong kebangkitan industri kehutanan tidak harus dengan menghabiskan sumber daya hutan alam.

“Jadi, pemerintah perlu melihat alternatif lain dari hutan tanaman rakyat dan hasil hutan non kayu. Salah satunya adalah karbon. Hasil hutan non kayu dari hutan alam berbasis masyarakat yang lestari memiliki potensi tinggi untuk menghasilkan devisa melalui perdagangan karbon,” kata Manajer Komunikasi dan Advokasi LEI, Indra S Dewi, di Bogor, Jawa Barat, Kamis pagi.

Ia mengemukakan hal itu kepada ANTARA sehubungan dengan Kongres CBO II LEI yang akan diselenggarakan di Bogor pada hari Jumat (6/2).

Kongres yang dijadwalkan dibuka Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban itu juga dirangkaikan dengan seminar sehari atas kerjasama LEI dengan Forest Watch Indonesia (FWI) dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Tema yang dibahas adalah “Menemukenali Pilihan-Pilihan Hukum bagi Pengelolaan Hutan Lestari berbasis Masyarakat”, menghadirkan sejumlah pakar kehutanan, kalangan industri, LSM, masyarakat dan pemangku-kepentingan kehutanan lainnya, dari seluruh Indonesia.


Dikemukakannya, bahwa berbagai strategi pemerintah untuk menyelamatkan industri kehutanan yang sedang terpuruk kelihatannya belum menampakkan hasil yang menggembirakan.

Kondisi itu terbukti dari luasan hutan alam semakin berkurang, jumlah pemilik konsesi hutan alam yang terus menurun, dan hingga tahun 2008 tinggal 312 unit. Namun, kata dia, tampaknya pemerintah masih fokus bertumpu pada hasil hutan kayu.

Kenyataan ini, ditambah dengan kebijakan Menhut baru-baru ini yang menyatakan bahwa batas konversi hutan alam menjadi hutan tanaman dapat diperpanjang dari tahun 2009 menjadi 2014 untuk mendukung industri pulp dan kertas.

“Pemerintah tampak kehabisan pilihan untuk membangkitkan industri kehutanan,” katanya.

Untuk itulah, katanya, kunci bangkitnya industri kehutanan Indonesia adalah keharusan akan adanya pengakuan hukum Hutan Berbasis Masyarakat.

“Hutan yang ditanam oleh masyarakat berupa hutan rakyat sekarang malah menjadi primadona penyokong industri perkayuan di pulau Jawa,” katanya.

Menjadi andalan
Menurut dia, industri furnitur yang mengandalkan kayu dari hutan rakyat kini mengalami perkembangan ekspor menggembirakan di tiga tahun terakhir.

Ia merujuk pada data ekspor Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) yang selama tiga tahun berturut-turut (2005 sampai 2007) terus mengalami peningkatan, yakni tahun 2005 1,79 miliar dolar AS, tahun 2006 naik menjadi 1,81 miliar dolar AS dan meningkat lagi tahun 2007 menjadi 1,96 miliar dolar AS.

Produk-produk itu meliputi meja, kursi, lemari dari rotan, kayu dan bambu. Bahan baku, khususnya rotan, dipasok oleh petani luar Jawa, seperti Sulawesi, Sumatra dan Kalimantan.

“Bahkan, ekspor furnitur menurut Asmindo dalam tahun 2008 ini telah mencapai 2 miliar dolar AS,” katanya dan menambahkan bahwa pertumbuhan ekspor furnitur tersebut tidak terlepas dari penggunaan bahan baku kayu yang legal dan tidak merusak lingkungan, yaitu menebang sesuai kapasitas dan program penanaman kembali.

Ia juga mengatakan bahwa furnitur yang telah mendapatkan sertifikasi ekolabel akan mendapatkan tempat khusus di pameran furnitur dan kerajinan internasional (IFFINA) di Jakarta pada bulan Maret 2009.

Ditegaskannya kembali, bahwa hasil hutan non kayu dari hutan alam berbasis masyarakat yang lestari memiliki potensi tinggi untuk menghasilkan devisa melalui perdagangan karbon, dan salah satu syarat areal hutan dapat diperdagangkan sebagai bahan baku perdagangan karbon adalah hutan yang dikelola secara lestari.

Hutan adat yang dikelola oleh masyarakat adat di beberapa tempat terbukti telah dikelola secara lestari, misalnya hutan adat yang dikelola oleh suku Dayak Iban di Sui (Sungai) Utik, yang hidup di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Malaysia.

Masyarakat Dayak Iban Sui Utik hanya memanfaatkan lahan seluas 9.452 hektar untuk memenuhi kebutuhan akan rumah, berburu, bertani, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Sebagai penghasilan mereka memanen karet untuk dijual.

Ia mengemukakan bahwa akhir tahun 2008, masyarakat Dayak Iban Sui Utik telah mendapat sertifikat ekolabel hutan lestari, disaksikan oleh Menhut MS Kaban. ant/fif

Perkembangan Tutupan Hutan Indonesia
Posted on March 19th, 2009 in Press Release

Hutan sebagai satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui, sudah seharusnya dikelola secara lestari dan berkelanjutan, agar dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Prasyarat menuju pengelolaan hutan secara lestari dan berkelanjutan, tidak terlepas dari kebutuhan data dan informasi yang lengkap, terpercaya dan terkini.
Salah satu informasi yang dibutuhkan adalah tentang kondisi terkini tutupan hutan dan penggunaan lahan. Informasi ini menjadi landasan untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan, sehingga terwujudnya penyelenggaraan kehutanan yang menjamin kelestarian hutan dan peningkatan kemakmuran rakyat. Tutupan hutan sebagai barometer kondisi hutan terus berkurang, sejalan dengan konversi dan eksploitasi yang telah dilakukan. Pada tahun 2003, Departemen Kehutanan sebagai lembaga penyedia data kehutanan mengatakan tutupan hutan hanya sekitar 94 juta hektar atau sekitar setengah dari total luas lahan di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2007 melakukan interpretasi citra Landsat7 ETM+, dengan menggunakan data pemotretan citra satelit tahun 2004 – 2006 yang digeneralisasi menjadi data tahun 2005, menunjukan bahwa tutupan hutan pada seluruh region di Indonesia berkurang menjadi sekitar 83 juta hektar. Walaupun dengan catatan, masih ada sekitar 33 juta hektar yang belum dapat diidentifikasi sebagai hutan maupun non hutan karena areanya tertutup oleh awan.
Kondisi tutupan hutan di pulau Kalimantan dan Papua memiliki kecenderungan menurun dari tahun ke tahun, sedangkan di region lainnya tutupan hutan mengalami penurunan maupun peningkatan luas. Walaupun demikian ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penghitungan di atas, seperti besar-kecilnya data yang tidak dapat diolah karena tertutup awan serta perbedaan metode yang digunakan dalam melakukan analisis. Sejauh ini, data hasil interpretasi citra satelit tahun 2003 masih menjadi acuan penghitungan tutupan hutan dan menjadi sumber data resmi yang digunakan di Departemen Kehutanan. Hal ini tidak terlepas dari proses pembaruan data yang dilakukan, yaitu pada setiap tiga tahun sekali. Dengan kondisi data seperti ini maka tingkat akurasian data akan menjadi sebuah pertanyaan, apalagi dengan metode penghitungan yang menggunakan peta skala tinjau (1:250.000) dan menggunakan 23 jenis klasifikasi tutupan hutan dan penggunaan lahan.
Sumber data yang beragam serta perbedaan metode dan klasifikasi, akan menyulitkan penghitungan laju perubahan tutupan hutan setiap tahunnya. Sebagai contoh, analisis FAO (Food and Agricultural Organisation) mengatakan tutupan hutan Indonesia pada tahun 2005 hanya sekitar 88,5 juta hektar atau sekitar 48,8% dari total luas lahan dan 46,5% dari total luas wilayah.

Laju Perubahan Tutupan Hutan Indonesia

Perubahan tutupan hutan yang disebabkan oleh dampak dari kerusakan fungsi hutan dalam skala besar dimulai sejak awal tahun 1970-an, yaitu ketika perusahaan pengusahaan hutan mulai beroperasi. Pada periode tahun 1970 hingga 1990-an, laju kerusakan hutan diperkirakan antara 0,6 sampai 1,2 juta ha per tahun.10 Kemudian, pemetaan yang dilakukan oleh pemerintah dengan World Bank, mengatakan bahwa laju kerusakan hutan selama periode 1986 – 1997 sekitar 1,7 juta ha per tahun, dan mengalami peningkatan tajam sampai lebih dari 2 juta ha/tahun (FWI/GFW, 2001).
Selama periode 2000 - 2006 telah dipublikasi berbagai versi perkiraan kerusakan hutan Indonesia. Angka dari Departemen Kehutanan adalah 2,83 juta ha per tahun, dalam kurun waktu 1997-2000 (2005). Pada tahun 2007, dalam buku laporan State of the World’s Forests, FAO (Food and Agricultural Organization) menempatkan Indonesia di urutan ke-8 dari sepuluh negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia. Dengan laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 1,87 juta ha dalam kurun waktu 2000 – 2005, mengakibatkan Indonesia menempati peringkat ke-2 dari sepuluh negara, dengan laju kerusakan tertinggi dunia.
Seperti pemaparan di atas, dengan kenyataan bahwa ketersediaan data yang beragam dan dengan sumber data serta metode yang berbeda-beda, FWI mencoba melakukan penghitungan laju perubahan tutupan hutan dalam kurun waktu 1989 – 2003. Hasil analisis sementara, menunjukkan bahwa tutupan hutan Indonesia telah mengalami perubahan akibat dari penurunan kualitas hutan (degradasi) dan kehilangan tutupan hutan (deforestasi), yang diperkirakan sekitar 4,6 juta ha/tahun. Laju tutupan hutan yang hilang (deforestasi) diperkirakan sekitar 1,99 juta ha/tahun.
Perkembangan industri perkayuan, pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan alam (HA) maupun hutan tanaman (HT), ijin pemanfaatan kayu (IPK), pelepasan kawasan untuk perkebunan dan pertambangan, serta maraknya pembalakan liar (illegal logging) terus mempengaruhi perubahan tutupan hutan yang tersisa di Indonesia. Sistem hukum, politik dan ekonomi yang korup dan tidak transparan, yang menganggap sumber daya alam khususnya sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan dan keuntungan semata, telah memberi kontribusi besar dalam kerusakan hutan Indonesia.
Lembar informasi ini mencoba mengulas secara singkat tentang kinerja para pelaku di sektor kehutanan, seperti industri kehutanan, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan maupun IPK, yang mempengaruhi kondisi tutupan hutan di Indonesia. Untuk data-data yang lebih detail, akan kami sajikan dalam sebuah buku laporan tentang Potret Keadaan Hutan Indonesia (PKHI) jilid II atau yang dikenal dengan State of the Forest Report-Indonesia yang segera terbit tahun depan.

Industri Perkayuan (Industri Hasil Hutan)

Industri perkayuan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang cepat dan perubahan struktur selama periode 1980-2005. Pertumbuhan industri ini, secara tidak langsung mempengaruhi terjadinya perubahan kondisi hutan yang tersisa. Berdasarkan produksi kayu olahan dari tahun 2000 sampai tahun 2005, produksi industri kayu gergajian dan dan kayu lapis + veneer menurun sangat signifikan, yaitu dari 6,50 juta m3 dan 8,27 juta m3 pada tahun 2000 menjadi 4,33 juta m3 dan 4,67 juta m3 pada tahun 2005.
Produksi kayu gergajian dan kayu lapis + veneer pada periode ini jauh lebih kecil daripada realisasi produksi pada masa puncaknya, yaitu 10.4 juta m3 pada tahun 1989 untuk kayu gergajian dan 9,6 juta m3 pada tahun 1997 untuk kayu lapis + veneer. Sementara itu, produksi pulp mengalami peningkatan dari 4,09 juta ton pada tahun 2000 menjadi 5,47 juta ton pada tahun 2005. Industri pulp telah menjadi industri yang paling banyak mengkonsumsi kayu bulat selama periode 2000-2005. Realisasi penggunaan kapasitas terpasang industri kayu gergajian dan dan kayu lapis + veneer menurun dengan tajam pada periode tahun 2000 sampai tahun 2005, yaitu dari 58,8% dan 87,7% pada tahun 2000 menjadi 41,3% dan 42,1% pada tahun 2005.
Kecenderungan-kecenderungan ini menunjukkan bahwa defisit bahan baku kayu bulat masih terus dihadapi oleh kedua industri meskipun hal kelangkaan bahan baku kayu pada kedua industri tersebut sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1997 (Simangunsong 2004). Sebaliknya yang terjadi pada industri pulp, realisasi penggunaan kapasitas terpasang industri pulp pada periode 2000-2005 terus meningkat dan berkisar 78,2% - 84,8%.

Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Alam (IUPHHK-HA)

Departemen Kehutanan melaporkan pada tahun 199316, jumlah Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam (IUPHHK-HA/HPH) yang aktif beroperasi adalah 575 unit dengan luas areal 61,70 juta ha. Jumlah IUPHHK-HA ini kemudian menurun dengan drastis menjadi 303 unit dengan luas areal 28,10 juta ha sampai dengan Agustus 2006.
Dengan kata lain, saat ini ada sekitar 33,60 juta ha areal HPH yang notabene merupakan hutan alam, mengalami degradasi ataupun deforestasi. Penurunan jumlah IUPHHK-HA ini terjadi karena semakin rusaknya sumberdaya hutan alam serta terjadinya krisis ekonomi, perubahan politik nasional, dan awal pelaksanaan otonomi daerah Indonesia yang dimulai pada tahun 1997 yang hingga sampai saat ini masih tetap berlangsung.
Sampai Agustus 2006, jumlah IUPHHK-HA yang tidak aktif berjumlah 154 unit dengan luas 17,38 juta ha. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab banyaknya IUPHHK-HA yang tidak aktif beroperasi, yaitu faktor internal yang meliputi: tidak sehatnya perusahaan, kurang profesionalnya sumberdaya manusia, rendahnya komitmen terhadap pengelolaan hutan, sikap menunggu situasi yang kondusif dan pemegang ijin hanya menunggu situasi kondusif; dan faktor eksternal yang mencakup: inkonsistensi dan tidak terintegrasinya aturan pusat dan daerah, belum teratasinya kegiatan illegal logging, dan tidak adanya kepastian berusaha.

Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)

Walaupun telah diberikan berbagai kemudahan, tetap saja realisasi penanaman pada areal HTI atau Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu di Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) tergolong kecil bila dibandingkan dengan luas kawasan hutan yang telah diberikan pemerintah untuk pembangunan hutan tanaman ini. Perum Perhutani saja telah menguasai sebesar 1,78 juta ha kawasan hutan produksi di seluruh pulau Jawa. Dan saat ini tidak kurang dari 10,2 juta ha kawasan hutan negara terutama di pulau Sumatera dan Kalimantan telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman dan dikuasai oleh 248 perusahaan, baik swasta murni maupun patungan.
Dimulai dari tahun 1996, luas dan jumlah IUPHHK - HT mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Tetapi peningkatan luas areal ini, belum diikuti oleh peningkatan produktivitas penanaman di areal tersebut. Realisasi penanaman pada tahun 1996 hanya sebesar 50%, dan malah menurun hingga 43% pada tahun 1997, dan hanya tinggal 32% pada tahun 1998. Sedangkan untuk tahun 2006, luas hutan tanaman yang sudah ditanam hanya mencapai 2,88 juta ha dari target 10,2 juta ha sesuai ijin yang dikeluarkan pemerintah.

Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit

Minyak sawit mentah (CPO) saat ini menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia. Akibatnya, kebutuhan pembukaan lahan kelapa sawit dilakukan secara masif. Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah yang menjadi sasaran utama. Dari kurang lebih 5,25 juta ha lahan yang dialokasikan untuk kelapa sawit tahun 2003, sekitar 19 % ada di Kalimantan dan 72% di Sumatera. Namun yang sangat mengejutkan, luas lahan kelapa sawit mengalami lompatan yang amat besar di Kalimantan, yaitu meningkat 1.056% dari 1990 dan 2003. Perluasan areal tanaman ini dimulai sejak investasi asing dibuka kembali pada tahun 1967. Hingga tahun 2005 luas perkebunan ini mencapai 5,59 juta ha. Diperkirakan perluasan perkebunan kelapa sawit masih akan terus dilakukan sampai 13,8 juta ha pada tahun 2020. Dari luas 105.808 ha pada tahun 1967, areal perkebunan kelapa sawit kini berkembang menjadi 5,59 juta ha pada tahun 2005.
Masa kejayaan sektor perkebunan ini dimulai sejak tahun 1990 hingga kini. Sayangnya, masih banyak perusahaan yang hanya tertarik untuk mengambil kayu daripada menanam kelapa sawit pada wilayah konsesinya.25 Menurut beberapa kajian, hampir semua perkebunan kelapa sawit berasal dari kegiatan konversi hutan produksi.26 Dengan prosedur untuk memperoleh lahan hutan yang relatif mudah, maka perusahaan dapat menebang habis serta menjual kayunya dan menjadi satu bisnis sampingan yang cukup menguntungkan,27 di luar keuntungan hasil panen kelapa sawit di masa yang akan datang. Bahkan ada diantaranya yang tidak pernah mempunyai keinginan untuk membangun perkebunan kelapa sawit, tetapi hanya mengejar ijin konversi untuk memperoleh keuntungan dari kayu yang didapatkan dari kegiatan pembukaan lahan (land learing).

Alih Fungsi untuk Pertambangan

Lantas seberapa besar sebenarnya kontribusi pertambangan terhadap kerusakan hutan di Indonesia? Untuk mengetahui hal tersebut kita harus melihat berapa jumlah perijinan pertambangan mineral dan batubara yang ada. Sampai ini, ijin yang dikeluarkan ESDM terdapat sekitar 1.830-an ijin (KK, KP & PKP2B) dengan total luas konsesi sekitar 28,27 juta ha. Dari total jumlah ijin yang dikeluarkan, ada 150 diantaranya berada di kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi dengan luas lebih dari 11 juta ha (data olahan JATAM 2006). Dampak dari kegiatan pertambangan diyakini memiliki daya rusak yang sangat sulit dipulihkan, kerusakan lingkungan, konflik horisontal dan pemiskinan menjadi fakta yang sering kita jumpai di lapangan. Padahal pendapatan negara dari sektor pertambangan tidaklah terlalu signifikan bila dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan.
Ancaman alih fungsi kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi datang juga dari pertambangan Minyak & Gas Bumi (MIGAS). Hingga tahun 2006, pemerintah melalui Departemen ESDM sudah mengeluarkan ijin 202 blok migas (Offshore & Onshore)29. Dari jumlah tersebut sebanyak 68 blok (sekitar 1,8 juta ha) bertumpang tindih dengan 45 kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya.

Politik dan Tata Kelola Kehutanan

Permasalahan kehutanan dimulai ketika keputusan politik untuk memanfaatkan sumberdaya hutan alam untuk membiayai pembangunan nasional ditetapkan pada tahun 1969 tanpa ada penyiapan pra kondisi yang memadai. Setidaknya terdapat tiga masalah yang penting untuk bisa dicatat, yaitu:
1. Penunjukan kawasan hutan tidak didasarkan atas fakta sosial lapangan yang akurat. Secara legal, penunjukan kawasan hutan didasarkan atas TGHK yang kemudian diperbaharui dengan padu serasi TGHK dan tata ruang di tingkat Propinsi (RTRWP). Legitimasi kawasan hutan dinilai cacat secara hukum agraria akibat rendahnya kinerja pengukuhan kawasan hutan yang hingga kini baru mencapai lebih kurang 10 %, serta lemahnya akomodasi negara terhadap hak-hak masyarakat dan konflik laten vertikal penggunaan lahan aktual antara kabupaten, propinsi dan nasional.
2. Lemahnya kapasitas negara dalam mengelola hutan dan tuntutan kebutuhan akan dana pembangunan pada saat itu telah mendorong kebijakan yang bias pada pengusahaan hutan alam yang akhirnya menyebabkan biaya transaksi yang sangat tinggi, pengabaian hak-hak masyarakat dan tingginya intervensi negara dalam hal teknis pengelolaan hutan. Akibatnya, profesionalisme pengelolaan hutan tidak berkembang, serta kelestarian hutan, khususnya pada hutan produksi, tidak menjadi fokus perhatian dalam implementasi kebijakan kehutanan.
3. Penunjukan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tidak diikuti dengan penyiapan kapasitas pengelola yang memadai di tingkat tapak. Dalam kondisi itu dan dibarengi oleh lemahnya kemantapan kawasan hutan, secara de facto di hutan lindung dan hutan konservasi banyak mengalami kerusakan akibat tingginya konflik sosial dan tindakan haram.
Implikasi permasalahan di atas adalah rendahnya kinerja pengurusan hutan di Indonesia dan bias kerangka pikir para pelaku pembangunan kehutan yang cenderung bersifat technocentris. Resultante penyelenggaraan pengurusan hutan oleh negara, yang dijabarkan menjadi birokrasi, regulasi dan kebijakan pemerintah belum mampu mengarahkan perilaku para aktor pembangunan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari. Hal ini diperparah dengan adanya keragaman tafsir mengenai pengurusan hutan oleh para pemangku kepentingan. Ketimpangan struktur dan proses, dimana kekuasaan, kewenangan, kerjasama dan konflik diartikulasikan untuk mengendalikan pengambilan keputusan dan penyelesaian keberatan terkait alokasi sumberdaya hutan dan penggunaannya melalui interaksi antar organisasi dan lembaga sosial, baik pemerintah, non pemerintah, formal maupun informal, menggambarkan lemahnya tata kelola kehutanan di Indonesia.
Lemahnya ketersediaan data dan belum adanya keterbukaan, menjadi faktor penting lain yang menyebabkan lemahnya kontrol terhadap pemanfaatan dan pengelolaan hutan selama ini. Dengan kata lain, munculnya tuntutan atas upaya pembaharuan kebijakan kehutanan untuk membenahi unsur keterbukaan dalam pengelolaan hutan melalui penyediaan informasi yang lengkap, terkini dan dapat dipercaya. Informasi tentang kepastian hak dan batas-batas kawasan hutan serta kondisi dan pemanfaatan sumberdaya hutan menjadi kebutuhan dasar bagi para pihak terutama pemerintah untuk menjalankan berbagai bentuk kewenangan penyelenggaraan kehutanan. Kurang lebih, inilah makna dari slogan “Good forest governance needs good forest information”.

Hutan Alam Masih Untuk Industri Kertas
Ditulis oleh Mohammad Djauhari
Konsesi Politik di Sektor Kehutanan

Hingga tahun 2009, Pemerintah menyediakan kawasan hutan dan hutan seluas 5 juta hektar untuk perluasan dan penyediaan bahan baku kertas atau Hutan Tanaman Industri (HTI). Adanya kenyataan Pemerintah masih memperbolehkan penyediaan bahan baku kertas dari hutan alam hingga 2014, dapat dikatakan sebagai tindakan rasional, karena hampir 30 tahun terakhir belakangan industri kertas mengalami over kapasitas.

Kartodiharjo (2000) menyebutkan, industri kehutanan baik kayu lapis maupun pulp dan kertas sebagian besar bahan bakunya masih dipasok dari hutan alam. Bila berkaca kepada perkembangan mutakhir, kawasan hutan yang arealnya masih berupa tegakan kayu sudah tinggal 72 juta hektar, penyediaan bahan baku kertas dari hutan alam dimaksud adalah hutan alam yang berfungsi sebagai lindung dan konservasi. Karena hutan yang tersisa adalah kawasan lindung dan kawasan konservasi.

Selain itu, Pemerintah sebenarnya dibenturkan pada kenyataan salah mengambil kebijakan pelepasan kawasan hutan. Departemen Pertanian (2008) menyebutkan, pada tahun 2007 Kehutanan telah melepaskan kawasan hutan untuk revitalisasi pertanian seluas 4 juta ha lebih, 50%-nya untuk perluasan perkebunan sawit. Kenyataan di lapangan, baik di Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan, penyediaan kawasan hutan dan hutan menjadi sumber perebutan ijin antara perusahaan (HTI) dan perusahaan perkebunan sawit. Sawit Watch (2008) memperkuat pernyataan ini, sudah terjadi peningkatan perluasan perkebunan sawit seluas 7,4 juta ha dalam rentang waktu 2006-2008 di seluruh Indonesia.

Sejak krisis kehutanan mengalami puncaknya, penebangan liar yang membuncah, yang menyebabkan peningkatan deforestasi hingga 3,4 juta pertahun (1997-2004) dan Pulau Sumatera mengalami perluasan perkebunan sawit besar-besaran (semisal program sejuta hektar sawitisasi Pemda Jambi, 2005), oreintasi penyediaan bahan baku kertas dialihkan ke Pulau Kalimantan. Pengalihan orientasi tersebut, pada perkembangannya mengalami benturan yang sama, Pulau Kalimantan menjadi konsentrasi perluasan perkebunan sawit, semisal dibukanya 3 juta hektar kawasan hutan dan hutan untuk perkebunan sawit sekalipun terbengkalai, hanya 300 ha yang ditanami sawit (Kompas, 2007).

Kritik WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) baru-baru ini, tindakan Kehutanan yang masih memperbolehkan industri kertas mendapat pasokan bahan baku dari hutan alam adalah tidak rasional, belum tepat. Justru tindakan pemerintah ini sangat rasional dalam kondisi untuk semakin memojokkan dirinya yang telah salah langkah sedari awal. Dalam berbagai keputusan pelepasan kawasan hutan baik untuk ijin hutan tanaman industri maupun perkebunan sawit harus mempertimbangkan kelayakan pelestarian hutan sesuai dengan Pembangunan Berkelanjutan.

Dalam penyelenggaran pertemuan terbatas pemerintah Indonesia dengan Finlandia, ditengarai ada perjanjian untuk pengembangan hutan tanaman berbasis masyarakat (Community Based Forest Plantations) yang dananya diisukan mencapai 1,8 trilliun rupiah. Serta pada akhir 2006, pemerintah akan menerapkan program HTR (hutan tanaman rakyat) seluas 9 juta hektar untuk masyarakat miskin yang pada 2009 ini akan segera diimplementasikan. Apakah keduanya ini bukan pilihan tepat untuk mengatasi over kapasitas industri kertas di Indonesia?

Atau pernyataan Pemerintah yang masih memperbolehkan hutan alam sebagai sumber bahan baku kertas sebagai rasionalisasi politik menjelang Pemilu 2009? Bisa jadi ini benar, bila kita berkaca kepada Pemilu 2004, dimana kebijakan kehutanan menjadi indikator sebagai sektor yang menjadi sumber penggalangan dana-dana kampanye partai peserta Pemilu. Lahirnya Perpu No.1 tahun 2004 tentang Pembukaan Kawasan Konservasi untuk Pertambangan ditengarai sebagai hasil "konsesi politik" partai tertentu dengan Pemerintah.

Forest for People, Climate will be Going Normally
Ditulis oleh Administrator
SHK petition for COP 14, Poznan

Indonesia has propose to give compensation to anyone who willing and establish to manage and protect the forest through emission reduction from deforestation and land degradation, or in other words "carbon trade", nowadays it becomes a national issue. It trigger stakeholders to prepare a structure and infrastructure, so that the scheme of global warming reduction filled with voluntary and market based economy mechanisms from the world's environmental services could be implemented. One thing for sure, it will trigger "a new forestry policies".
An important notes about this condition, it sometimes deny the basic principles of Indonesia's Forestry, especially for its community based (local or traditional management and tenurial status right. From 143 million ha of Forest and Forest Area claimed as a State Forest filled with tenurial conflict. Meanwhile, we must not forget that over 80 million of Indonesia people still reside and owe their life existence from the existence of the forest.

KpSHK (Consortium for supporting Community Based Forest System Management) and all of SHK (Community based Forest management) participant together with every civil society components "invoke" a petition, that will play it roles as a pledge and a insinuation to the world to fight a right for a democratization of Indonesia's Forest management and also for a world's climate justice. This petition will inquire every stake holder to:

Will placed a local (traditional) community as a main subject of forest management in Indonesia.
Will supported a legal recognition for a management and ownership's right of a forest area by local (traditional) community.
Will put any national and international initiative considering with the effort of global warming reduction or obstruct a climate change from the ecological benefit of forest for a local (traditional) community's prosperity.
Together, side by side participate as a control system for the implementation of national and international initiative for global warming reduction or a climate change, so that it will not mystified based only for its economical priorities, and
Will expect an industrial country to reduce an energy consumption, which material came from the forest and forest area in Indonesia.

This "Forest for People" petition made for a greater hope that the climate will be going normally. And it will become an insinuation for people all over the world to strengthen "Forest for People" so a climate justice will be established.

Supported by:

SHK Community and Participant in 5 Big Islands of Indonesia
KpSHK-Bogor
Masyarakat Adat Tawana, Kecamatan Ulu Bongka, Kabupaten Touna
Pripinsi Sulteng
Komunitas Taragahar Tajomosan, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sika, Propinsi NTT
Komunitas Aceh Rayeuk, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Propinsi NAD
Komunitas Rinjani, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Propinsi NTB
Komunitas Semende Marga Ulunosal, Kecamatan Nasal, Kabupaten Kaur, Propinsi Bengkulu
Komunitas Meratus, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah
Propinsi Kal Sel
Komunitas Rongkong, Kecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara, Propinsi Sul Sel
Komunitas Masyarakat Adat Hoto', Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Propinsi Sul Sel
Komunitas Erdas, Kecamatan Dusun Selatan, Kabupaten Barito Selatan, Propinsi Kalteng
Komunitas Gunung Betung, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Bandar Lampung
Komunitas KTHR Sekar Pijer, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi DI Yogyakarta
Komunitas DAS Tondano, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara
Komunitas Rengganis, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur
Komunitas Cirewed, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat
Komunitas Dayak Kutai Barat, Kabupaten Kutai Barat, Propinsi Kalimantan Timur
Komunitas Masyarakat Adat Lodang, Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Propinsi Sul Sel
Komunitas Rawa Taman Mahap, Menterap, Skadau, Kalimantan Barat
Komunitas Adat Talang Mamak, Riau

Redam Konflik, Selamatkan Hutan Rakyat
Ditulis oleh Mohammad Djauhari

Hutan Indonesia semakin tahun semakin berkurang. Hutan Indonesia sekarang ditengarai tinggal 72 juta hektar yang berupa tegakan pohon. Dalam kurun waktu tidak lebih kurang 10 tahun, laju deforestasi pertahun meningkat dari 1,8 juta hektar pertahun menjadi 3,2 juta hektar pertahun (puncak deforestasi terjadi pada periode 2000-2005), sehingga luas kawasan hutan seluas 143 juta hektar pada 1997 kini berkurang sebanyak 71 juta hektar.

Hal tersebut terjadi diakibatkan oleh laju investasi dan regulasi di sektor kehutanan yang mengabaikan keseimbangan ekologi (harmonisasi manusia-alam). Investasi sektor kehutanan (HPH-Hak Pengusahaan Hutan dan HTI-Hutan Tanaman Industri) serta alih fungsi lahan hutan (konsesi dan konversi) kepada sektor perkebunan dan pertambangan.

Investasi untuk HTI
Revitalisasi kehutanan yang dicanangkan Pemerintah sejak 2004 bertumpu kepada pemulihan industri kehutanan terutama pengembangan HTI (hutan tanaman industri) yang mendukung industri Pulp-Paper. Over kapasitas industri kertas telah menyebabkan setengah bahan baku kertas dipasok dari hutan alam, untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup tinggi (China dan Amerika).

Pengembangan HTI yang mendukung Pulp-Paper dengan target capaian seluas 3,57 juta hektar pada 2006 telah memunculkan investasi senilai 18 milliar dollar Amerika (Lutoifi, 2008). Sementara untuk periode 2004-2009 Pemerintah menargetkan 5 juta hektar untuk pengembangan HTI. Artinya, hingga akhir 2009 Pemerintah masih membuka peluang investasi bagi pembukaan HTI baru. Dan ini belum ditambah dengan nilai investasi di sektor perkebunan dan pertambangan.

Regulasi Perkuat Investasi
Selain investasi , regulasi Pemerintah di sektor kehutanan cukup signifikan dalam mempercepat deforestasi (alih fungsi lahan). Keputusan Pemerintah No.41 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.1 tahun 2004 telah memberikan peluang baru dibukanya hutan untuk konsesi pertambangan di kawasan hutan (lindung) tercatat ada 13 perusahaan pertambangan yang sudah beroperasi di 12 propinsi hingga kini.

Pada Maret 2008, kembali pemerintah mengeluarkan Pertaruran Pemerintah No.2 tentang Penerimaan Nasional Bukan Pajak (PNBP) dari pemanfaatan kawasan hutan untuk penggunaan lain (versi Pemerintah, PP ini untuk 13 perusahaan yang mendapat ijin konsesi menurut Kepres N0.41/2004) dan Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2008 (revisi dari PP No.6 tahun 2007) tentang Penyusunan dan Perencanaan Pengelolaan Kawasan Hutan (implementasi dari sistem blok atau KPH-Kesatuan Pengelolaan Hutan).

Regulasi kebijakan Pemerintah tersebut bertujuan untuk meningkatkan investasi di sektor kehutanan (industri) sesuai tujuan revitalisasi (kepentingan pemerintah pusat). Sekalipun PP No.3 tahun 2008 tidak mendapat respon publik sedahsyat PP. No.2 yang memunculkan polemik para pihak (pusat, daerah dan masyarakat sipil, bahkan asosiasi gubernur se-Kalimantan menolak PP No.2 tersebut), PP No.3 tampak memiliki tujuan lain dari Dephut. Dengan mempersiapkan sekitar 5.000 tenaga kehutanan yang akan ditempatkan di KPH-KPH di tingkat Kabupaten, Departemen Kehutanan akan "mengambil alih" kembali kewewenangnya atas kehutanan daerah (dinas) seperti sedia kala, saat masih pengelolaan kawasan hutan terpusat lewat Kanwil-kantor wilayah.

Dengan demikian, investasi (asing) lebih mudah mendapatkan jalan implementasinya melalui Pusat. Pelaksanaan otonomi daerah menuai gambaran (citra) buruk. Banyak daerah yang "gagap" (tidak siap) menjalankan otonomi. Sehingga pada akhirnya otonomi daerah di sektor kehutanan membuat investor ragu melakukan investasi.

Belum lagi dampak disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) beberapa waktu lalu oleh pemerintah. Dalam salah satu pejelasan, investasi atau modal asing dapat dijalankan hingga mencapai masa kontrak seratus tahunan.

(SHK) Resistensi terhadap Kehutanan Negara
Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) adalah penyebutan (naming) bagi beranekaragamnya sistem pengelolaan kawasan hutan berbasis masyarakat (adat dan lokal) yang ada di Indonesia. SHK sebagai "konsep dan model tanding" bagi kehutanan negara membawa misi devolusi atau mendorong terjadinya demokratisasi pengelolaan sumberdaya hutan. Masyarakat didorong sebagai pelaku utama dalam pengelolaan kawasan hutan.

Upaya mempertahankan keberadaan dan perluasan SHK (gerakan pendukung SHK) dalam berbagai pendekatan seperti: promosi; advokasi kebijakan; pengembangan dan penguatan komoditas hutan non kayu; pembentukan jalur pedagangan alternatif non-kayu; dan mendorong pengakuan hak kelola, SHK telah memunculkan resistensi terhadap konsep dan praktek kehutanan negara terutama terhadap praktek kehutanan negara seperti HPH, HTI, Konservasi dan Perkebunan Besar serta model derivativenya (HPH Bina Desa, Perbedayaan Masyarakat Desa Hutan, Koperasi Hutan, Hutan Tanaman Industri Rakyat, dll).

Resistensi SHK semakin lama kian melemah. Ini diakibatkan oleh berbagai proses pendekatan menuju pengakuannya (rekognisi hukum) "terhegemoni" oleh pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah semisal Kehutanan Sosial, PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) dan Hutan Kemasyarakatan (HKM). Selain itu keberadaan SHK juga mendapat serbuan jenis-jenis peruntukkan kehutanan lainnya (perluasan perkebunan kelapa sawit, konsesi pertambangan baru, dan perluasan kawasan konservasi).

Kontrak Sosial, Solusi Konflik Kawasan
Konflik kawasan terjadi akibat benturan antara investasi, regulasi dan resistensi. Benturan dari ketiganya membawa konsekuensi buruk baik dilihat dari sisi sosial maupun lingkungan.

Sisi sosial, konflik kawasan semakin memiskinkan komunitas di sekitar dan dalam kawasan hutan yang sangat bergantung terhadap keberadaan hutan. 48,8 juta penduduk Indonesia berada di sekitar dan dalam kawasan hutan, 10, 2 juta-nya dalam keadaan miskin (Brown via Cifor, 2006).

Sisi lingkungan, konflik kawasan telah menimbulkan kerusakan lahan dan berkurangnya luasan hutan. Selama satu dekade hutan Indonesia mengalami deforestasi rata-rata 2,8 juta hektar pertahun (Lutoifi, 2008).

Resolusi atas konflik kawasan bukan tidak pernah dilakukan oleh berbagai pihak. Beberapa model pendekatan yang bersifat programatik (pilot project) semisal ACM (adative collaborative management)-Cifor, Manajemen Kolaborasi-Latin, Program Kehutanan Multipihak -Departemen Kehutanan/DFID, Desa Konservasi -RMI, Hutan Konservasi Adat -WWF, dll sudah pernah dilakukan. Upaya-upaya resolusi ini tidak optimal, regulasi dan investasi mendominasi kepentingan resistensi (sistem-sistem kelola kawasan yang belum pernah mendapat rekognisi), serta tidak adanya komitmen yang kuat dari para pihak terutama pemangku kepentingan regulasi dan investasi untuk menjalankan kesepakatan-kesepakatan bersama yang telah dibangun.

Konflik kawasan dapat dipandang positif jika penyelesaiannya berpegangan teguh kepada tekanan (good forest governance, good corporate governance, dan sustainable development) dan aturan-aturan (Ecosob, Duham dll) Internasional. Pemangku regulasi dan investasi memiliki modal sosial (Community Development, Corporate Social Responsibility) yang dapat mendorong adanya jaminan pengakuan hukum/kebijakan (kontrak sosial atau perjanjian) bagi keberadaan pemangku resistensi.

Investasi Sosial Bersama (joint social investment) melalui perjanjian (kontrak sosial) antarpihak dalam menyelamatkan kawasan hutan terutama bagi keberadaan SHK sebagai model dan sistem kelola hutan yang khas Indonesia adalah jalan tengah.

REDD, Kompensasi Pengamanan Hutan?
Ditulis oleh tJong Paniti
"Kompensasi" atau penggantian kerugian dengan uang selalu menjadi jalan akhir dari penyelesaian persoalan atau kemelut antarpihak dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Bentuk-bentuk pendekatan semisal, community development (CD), Corporate Social Responsibilty (CSR), dan Jasa Lingkungan Hidup dan Sosial lainnya adalah bentuk-bentuk kompensasi dari pembangunan sumberdaya hutan (alam) di Indonesia.

REDD, reduced emission from deforestation and degradation yang baru-baru ini gencar dimunculkan ke dalam wacana publik internasional (Pertemuan Perubahan Iklim PBB di Bali pada akhir tahun lalu) dapat dipandang sebagai bentuk pendekatan "kompensasi" baru dalam pembangunan kehutanan di dunia, utamanya di negara-negara ketiga yang masih memiliki kawasan hutan yang luas seperti Indonesia.

"Kompensasi" pada galibnya (konseptual) bertujuan sebagai "penyimbang" (harmonisasi) dari proses-proses pembangunan yang berdampak buruk terhadap lingkungan hidup (sosial). Dengan semangat harmonisasi, "kompensasi" dalam berbagai bentuk program pemberdayaan masyarakat menjadi alat justifikasi pembangunan yang ramah lingkungan dan sosial serta menjujung tinggi keadilan lingkungan dan sosial. Hal ini, sekaligus sebagai penyesuaian Pembangunan Indonesia dengan pembangunan dunia yang pada tahun 1972 mulai digencarkan Program Pembangunan Berwawasan Lingkungan.

Namun praktek puluhan tahun dari bentuk-bentuk kompensasi pembangunan sumberdaya hutan atau alam (CD, CSR, Jasa Lingkungan, Pemberdayaan Desa dan Masyarakat Sekitar Hutan) sedari 1967 tidak bisa memunculkan harmonisasi pembangunan. Pembangunan sektor kehutanan, perkebunan, pertanian dan pertambangan yang menggunakan kawasan hutan sebagai asset utamanya (penyediaan lahan dan produk) melalui konsesi dan konversi yang ijin hak pengusahaannya diberikan kepada swasta nasional dan asing (HPH, HTI, Kontrak Karya Pertambangan, PIR Transmigrasi, dll) tidak bisa membendung dampak kerusakan hutan, konflik perusahaan-masyarakat dengan alat-alat kompensasi tadi.

Praktek dari alat-alat kompensasi cenderung menggunakan penggantian kerugian (materiil atau uang) kepada pihak yang dianggap sebagai korban pembangunan (masyarakat sekitar). Sebut saja kasus-kasus besar di sektor pertambangan semisal, PT. KEM di Kalimantan Timur, PT. Freeport Indonesia di Papua, PT. Indorayon di Sumatera Utara, Proyek Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, dan lain-lain ditengarai berakhir dengan adanya tuntutan ganti kerugian dalam bentuk materiil (uang).

Lalu, bagaimana dengan REDD? REDD sebagai skema "kompensasi" bagi sektor kehutanan sebagai dampak kesepakatan dunia untuk mempertahankan hutan sebagai areal penyerapan karbon yang sekaligus sebagai sumber pengeluaran emisi (kebakaran hutan dan lahan) tidak akan sekuat alat-alat kompensasi lainnya (CD dan CSR). CD dan CSR dijalankan dan menjadi tanggungjawab-tanggunggugat swasta, sedang REDD belum jelas akan dijalankan oleh siapa dalam pembangunan kehutanan di Indonesia.
Yang jelas, selama REDD akan dijalankan dengan semangat kesukarelawanan semua pihak pemangku kehutanan dan mengunggulkan kekuatan nilai penggantian kerugian atau uang, kita jangan terlalu banyak berharap hutan Indonesia masih utuh. Apalagi, investasi di sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan saat ini cenderung meningkatkan alih fungsi kawasan hutan (konversi dan konsesi) sebagai dampak Politik-Ekonomi Energi Dunia. REDD, kompensasi pengamanan hutan? Sepertinya perlu diamati jeli, kalau REDD jalan lain untuk menghabiskan hutan Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tolong Komentarin Posting - posting qu ya.....terima kasih